Sayangnya, sepertinya tidak banyak orang yang pernah menonton film Tenggelamnya Kapan Van Der Wijk / The Sinking of Van Der Wijck (2013). Dan jika ada yang menontonnya, mungkin kebanyakan menonton versi awalnya. Namun, sebenarnya versi extended-nya yang jauh lebih bagus. Menurut saya, versi yang bukan extended terasa biasa saja. Sinematografi film ini sangat indah, bahkan menurut saya salah satu yang terbaik di antara film-film Indonesia yang pernah saya tonton.
Versi extended-nya memang cukup panjang, sekitar 3 jam, tetapi justru membuat kita lebih memahami sudut pandang tokoh utama, Zainuddin. Film ini menceritakan kisah cinta dari perspektif seorang pria. Meskipun mungkin tidak banyak pria yang tertarik menonton film drama romantis.
Akting Herjunot Ali di film ini sangat bagus. Saya ingin memberikan apresiasi khusus padanya karena sepanjang film, dia berbicara dengan bahasa Melayu namun tetap mempertahankan logat Makassar saat berada di Minangkabau, sementara para aktor dan aktris lainnya menggunakan logat Sumatera. Karakter Zainuddin ini sebenarnya memiliki darah Minangkabau dan Bugis, lahir dan besar di Makassar, namun kemudian merantau ke Padang Panjang, Minangkabau. Meskipun logat dan bahasanya tidak sempurna, namun usahanya patut diacungi jempol.
Sayangnya menurut saya, Pevita Pearce tidak mampu menyamai akting Herjunot Ali (meskipun dia sangat cantik dan cocok memerankan karakter Hayati), sehingga pada adegan terakhir mereka berdua terasa tidak seimbang.
Poster film ini mendapat kritikan keras dari sebagian masyarakat Minang karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islami yang dijunjung tinggi dalam budaya Minang, terutama terkait pakaian yang dikenakan oleh Hayati yang dianggap terlalu terbuka. Namun, perlu diingat bahwa film ini memang memiliki latar belakang bernuansa Islami.
Meskipun judulnya terkesan seolah-olah akan menceritakan kronologi tenggelamnya kapal, penulis mungkin ingin menggunakan kapal ini sebagai metafora untuk menggambarkan bagaimana Zainuddin kehilangan cintanya yang dianggapnya sebagai “tenggelam” dalam cara yang menurutnya adalah pilihan terbaik. Zainuddin, tokoh utama dalam film ini, memiliki harapan yang tinggi terhadap Haryati. Dia berharap Haryati tetap menjadi gadis desa Muslim yang polos seperti yang dulu dikenalnya, namun ternyata Haryati berubah dan mulai mengenakan pakaian ala noni Belanda yang terbuka. (Menurut saya, ini sangat realistis karena setiap orang akan mengalami perubahan seiring dengan perkembangan lingkungan sosialnya.) Akibatnya, Zainuddin memutuskan untuk mengirim Haryati pulang (ini adalah keegoisan Zainuddin) daripada memaafkan Haryati dan memulai kisah cinta baru dengan dia. Ternyata, pilihan tersebutlah yang akhirnya mengakhiri kehidupan Haryati. Sama seperti kapal yang pada akhirnya tenggelam, meskipun terlihat megah dan kuat.
Meskipun demikian, secara keseluruhan, saya menilai film ini sangat baik. Pesan moral yang disampaikan dalam film ini juga bagus karena mengangkat isu perbedaan status sosial dan budaya. Sebagai non-Muslim, saya pun dapat memahami apa yang ingin disampaikan oleh penulis cerita melalui latar belakang budaya yang digambarkan.