Bagaimanakah manusia mengenal waktu? Di era purbakala (pre-sejarah), manusia mungkin mulai menyadari secara bertahap bahwa alam semesta ini terus berubah.
Pict:
[1]
Pengalaman mereka terhadap siang dan malam patut dicurigai sebagai fenomena paling menentukan dalam mencetuskan ide tentang perubahan dimaksud
Memang benar bahwa malam berganti siang dan malam berubah siang. Mereka mungkin bingung dengan perubahan bolak balik ini, tetapi pada saat itu, mereka mungkin menganggap perubahan sama dengan waktu.
Sampai akhirnya, mereka terkejut ketika mereka menyadari bahwa, meskipun pertukaran siang malam terus terjadi, peristiwa itu tidak berlangsung dalam urutan dan suasana yang sama. Jika lolongan anjing liar menghiasi malam, malam berikutnya akan tenang dan tenang, meskipun hujan kadang-kadang terjadi. Selain itu, susunan posisi berbagai benda di sekitar kita yang telah berubah secara konstan.
Intinya, dalam bahasa teknis modern, konstruksi dan konfigurasi setiap segala sesuatu tidak pernah statis.
Dengan kata lain, selalu terjadi perubahan.
Dan perubahan itu berlangsung tanpa pernah menghasilkan output yang sama persis.
Artinya lagi, manusia selalu dihadapkan pada konstruksi dan konfigurasi berbagai objek yang tanpa henti terbaharukan (updated). Mengulang suatu fenomena (meski hanya sekali saja) secara eksak equivalen adalah suatu hal yang mustahil.
Nah.. kalimat yang tepat untuk melukiskan pengalaman ini hanyalah “setiap sesuatu berubah menjadi setiap sesuatu yang lain yang belum pernah teramati oleh manusia.”
Segalanya ter-mutakhirkan. Anti-mutakhir tak pernah ada.
Dari sini, kata yang tepat untuk updated tanpa pernah anti-updated hanyalah “maju”.
Maju itu adalah konsep abstrak yang diadopsi dari pengalaman kongkrit ketika manusia berjalan. Bukankah ketika manusia melangkah ke depan dia menjumpai selalu hal hal baru? Meskipun mungkin ada objek yang pernah ia kenali sebelumnya (sebutir batu misalnya), tetap saja batu kedua yang dijumpainya berbeda dalam posisi atau jarak relatif terhadap objek lain di sekitar (konfigurasi dan konstruksinya beda).
Orang menerima banyak pengalaman. Dia belum pernah mengalami dua atau lebih pengalaman yang sama dalam setiap aspek. Inilah faktor pencetus gagasan tentang waktu yang berjalan maju.
Demikian sekapur sirih dari patik. Kiranya Mas Aluth Fian berkenan mengkoreksi kesalahan pikir yang boleh jadi bertaburan dalam jawaban ini.
Catatan Kaki