Ini adalah salah satu mantan bos saya.
Dia adalah pria yang berpakaian kuning dan lulusan PTN yang sangat pintar. Namun, itu bukan kualitas utamanya. Hal yang paling mengagumkan dari dia adalah dia tidak pernah terlihat gugup atau tertekan dalam situasi darurat.
Atau, jika dia benar-benar gugup secara rahasia, kegugupannya tidak akan terlihat karena keterampilan bahasa tubuhnya yang luar biasa
Sedikit background story, perusahaan tempat kami bekerja saat itu bergerak di bidang teknologi. Pak Boss ini jabatannya Head, membawahi tim yang menangani business intelligence dan business development sekaligus. Saat itu jabatan saya Senior Manager, satu level di bawah dia. Di divisi itu, total terdapat 5 orang manager (termasuk saya). Berenam dengan Pak Boss, kami bersama-sama mengarungi lautan stress yang luar biasa setiap bulan, seperti serombongan Pokemon yang rutin keluar-masuk kawah Mordor (entah bagaimana bentuknya itu, silahkan visualisasikan sendiri menggunakan imajinasi masing-masing).
Choose your Pokemon!
Buat yang pernah bekerja di perusahaan teknologi, pasti paham betapa stressful-nya bekerja di industri ini. Mendekati akhir bulan, kami selalu lembur sampai pagi. Kadang bahkan menginap di kantor. Sambil lembur, kami sambil ‘dikeramasi’ oleh Direktur. Paket combo pula, Direktur Indonesia dan Direktur HQ.
Direktur kami bukan orang yang menyenangkan. Kami ditekan habis-habisan, pokoknya entah bagaimana caranya, achievement harus hijau. Kalau masih merah, bongkar ulang! Kami harus menekan siapapun yang bisa ditekan supaya mau kerja ekstra melakukan ‘penghijauan’. Jam dua pagi kami biasanya masih berantem dengan para Head di berbagai kota untuk menagih angka pencapaian mereka. Semuanya demi bisa setor angka hijau di batas waktu jam empat pagi.
Tekanan ini membuat tim Pokemon kami punya banyak musuh di kantor-kantor cabang. Adu mulut dan saling maki sudah jadi makanan setiap bulan. Saya bahkan sudah terbiasa dikata-katai dan didoakan yang buruk-buruk, berkat keahlian saya ‘memeras’ angka dari para Head hingga titik darah penghabisan. Mereka frustasi, saya pun frustasi. Kami semua seperti hamster-hamster yang berlarian di roda—saling mencicit hingga kelelahan, namun terus saja berputar-putar.
Ya, saya ingat suasana kerja kami saat itu sangat gila. Saya bahkan sempat berpikir bahwa hidup saya mungkin akan berakhir dengan cara ini.Karena kelelahan dan stres akibat bekerja, saya mati di kantor, di belakang meja kerja saya.
Namun, saya memperhatikan Pak Boss yang sedang nyeruput kopi. Saya heran mengapa dia bisa begitu santai.
Berbeda dengan saya yang nyaris gumoh, Pak Boss punya ritme kerjanya sendiri.
- Dia akan kerja keras selama beberapa jam, kemudian meluangkan waktu sejenak untuk jalan-jalan ke luar kantor. Lalu setelah itu, kembali ke meja dan kerja keras lagi dengan wajah setenang bayi yang sudah kenyang.
- Saat situasi urgent datang, dia tidak tertular kepanikan. Kalimat pertama yang biasanya dia ucapkan dalam menghadapi situasi tersebut adalah “Oke, saya dengerin dulu”. Dan dia benar-benar mendengarkan. Kemudian secara ajaib, di tangannya semua kepanikan dan kesemrawutan tersebut terurai. Kemampuannya dalam memilah benang kusut sungguh luar biasa.
- Setelah ‘dikeramasi’ Direktur, dia akan menghela napas panjang, ketawa-ketawa bareng kami sesama rombongan Pokemon atau main game di HP sebentar, kemudian balik kerja lagi seperti biasa dengan wajah tanpa dosa.
- Dia tidak meninggikan suara dan tidak balas berteriak meskipun ada Head yang menghujaninya dengan makian. Entah ketenangan batin jenis apa yang bersemayam di dalam dirinya.
Ajaibnya, dengan segala sikap dan leadership-nya yang terkesan minim urgency itu, tiba-tiba saja pekerjaan kami selesai dengan baik! Walau saya dan 4 Pokemon lainnya sering kebakaran jenggot, tapi Pak Boss, entah bagaimana caranya, bisa memadamkan api itu sambil senyum-senyum dan menyeruput kopi.
Bagaimana dia mengelola tekanan yang bertubi-tubi adalah sebuah misteri besar yang tak terpecahkan hingga detik ini.
Lalu ada satu kejadian yang tak bisa saya lupakan, yang membuat respek saya terhadap beliau meroket.
Pada suatu hari, saya dan Pak Boss dipanggil ke ruangan Direktur. Kemudian di ruangan itu, saya dimaki habis-habisan.
Alasannya? Karena kami mendapat info terpercaya bahwa ada informasi produk baru yang dianggap confidential yang jatuh ke tangan kompetitor.
Sialnya, saya-lah penanggung jawab produk tersebut.
Maka berdasarkan cocoklogi, tanpa investigasi menyeluruh terlebih dahulu, Direktur memutuskan bahwa hal ini disebabkan oleh kelalaian saya.
Kata-kata yang dilontarkan Pak Direktur hari itu masih membuat merinding kalau saya ingat-ingat. Amelia, use your brain… I didn’t hire you to make this mistake… We pay you to work, not to do sh*t… dan banyak kalimat menyakitkan lainnya.
Saat itu tangan saya sudah gemetaran, antara takut dan marah. Marah karena tidak terima disalahkan atas sesuatu yang belum jelas asal muasalnya. Takut karena ada setitik kecemasan dalam hati saya—apa benar hal itu terjadi karena kelalaian saya? Jangan-jangan, memang benar? Kalau benar, apa yang harus saya lakukan?
Di sebelah saya, Pak Boss diam saja. Kami berdua hanya duduk mendengarkan makian Pak Direktur sampai dia kelelahan sendiri. Lalu setelah amarahnya susut, Pak Direktur memberikan ultimatum: entah bagaimana caranya, Amelia harus menemukan oknum yang membocorkan informasi tersebut. Setelah itu, kami berdua dipersilahkan keluar dari ruangan.
Di luar ruangan, sambil berjalan kembali ke meja, saya nyaris menangis. Dengan suara gemetar, saya bilang ke Pak Boss, bagaimana ini Pak, bagaimana caranya saya bisa menemukan oknum itu?
Saya sungguh-sungguh kalut, karena saat itu semua karyawan di cabang bisa mengakses library tempat tersimpannya informasi mengenai produk perusahaan kami. Bagaimana saya bisa menemukan si pelaku di antara ratusan karyawan yang mengakses informasi produk tersebut?
Di luar dugaan, reaksi Pak Boss hanya menepuk pundak saya dan berkata,
Tenang saja. Nggak usah kamu pikirin dan nggak usah kamu kerjain. Ini request yang nggak masuk akal. Diamkan saja, nanti juga Pak Direktur lupa sendiri sama masalah ini.
Saya hanya terdiam mendengar ucapannya. Awalnya, saya pikir dia bercanda. Tapi ternyata, di hari-hari berikutnya, tiap kali melihat saya gelisah dan mencoba mencari tahu siapa oknum tersebut, dia selalu mengulangi perkataan yang sama. Tidak usah buang waktu, request itu tidak masuk akal.
Dan benar saja, hanya dalam hitungan hari, Pak Direktur sudah lupa akan kemarahannya. Usut punya usut, produk yang dipermasalahkan tersebut sebenarnya tidak rahasia-rahasia amat. Toh semua sales lapangan sudah mulai menjual produk itu, dan sangat besar kemungkinan klien kami membocorkannya ke kompetitor untuk mendapat perbandingan benefit atau harga lebih murah.
Dan hanya begitu saja. Kejadian dimaki Direktur menguap bak kabut. Pak Direktur kembali bersikap seperti biasa pada saya, amnesia akan kalimat menyakitkan yang pernah keluar dari mulutnya. Sialan.
Tapi persetan dengan Direktur, Pak Boss-lah pahlawan saya.
Belakangan, saat kami sedang duduk ngopi bersama, Pak Boss bercerita bahwa di hari kami dimaki-maki, dia langsung tahu bahwa omongan Pak Direktur hanya pepesan kosong. Hal yang dipermasalahkan tak ada level urgency-nya. Maka dari itu dia santai saja, menutup telinga, dan tidak mau ambil pusing.
Berbeda sekali dengan saya yang panas-dingin dan ketakutan setengah mati.
Entah bagaimana caranya dia connecting the dots dan cepat memilah mana hal yang butuh perhatian, dan mana yang tidak. Saya anggap ini adalah keahlian khusus dia—mampu menyeleksi dan mengatur level stress sesuka hati.
Saat ini Pak Boss dan saya sudah berpisah jalan. Pak Boss menjabat di sebuah perusahaan telekomunikasi terkemuka, dan masih rutin bertegur sapa dengan mantan personil Pokemonnya (termasuk saya) di grup WA. Dia tetap ramah, murah senyum, dan tenang seperti air di hari yang cerah. Hingga detik ini, dia tetap boss paling hebat yang pernah singgah di perjalanan karir saya.