Saya merasa bimbang antara mencintai dan membenci jurusan kuliah saya. Saya mengambil jurusan teknik sipil, tetapi ketika saya mengetahui bahwa lapangan kerja tersebut dianggap sebagai “uang panas” oleh orang awam, saya merasa kesal. Bahkan dosen saya sendiri mengakui hal tersebut. Selain itu, beberapa peminatan dalam jurusan ini juga dinilai merusak lingkungan, seperti struktur, transportasi, dan geoteknik terutama pondasi dalam. Awalnya, saya adalah orang yang sangat idealis dan ingin memiliki pekerjaan yang tidak merusak alam. Akhirnya, saya menemukan minat dalam bidang hidro. Di sini, saya merasa lebih dekat dengan alam karena berhubungan dengan irigasi, pelestarian lingkungan, energi terbarukan, dan infrastruktur perairan. Topik penelitian saya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), sehingga setelah lulus, saya sangat ingin bekerja di Indonesia Power atau Jasa Tirta. Namun, nasib berkata lain dan saya akhirnya bekerja di tambang. Di tambang, saya juga merasa tidak nyaman karena kerusakannya jauh lebih parah.
Untungnya, saya berada di divisi yang bertugas untuk merehabilitasi lahan pasca tambang dan infrastruktur tambang. Saya merasa lega karena saya tidak ikut merusak, bahkan saya membantu memperbaiki. Namun, itu hanya sebatas ilusi, karena pada akhirnya gaji saya tetap berasal dari kegiatan penambangan tersebut. Saya selalu berusaha mencari peluang pekerjaan yang berhubungan dengan teknik sipil hidro, baik di instansi pemerintah maupun swasta. Namun, hingga saat ini saya belum mendapatkannya. Padahal, saya sangat ingin memiliki pekerjaan tersebut dan melanjutkan pendidikan di bidang tersebut. Kadang-kadang, saya merasa iri melihat teman-teman saya yang bisa melanjutkan studi mereka dengan biaya yang ditanggung oleh perusahaan mereka di bidang kontraktor sipil. Tapi mungkin itu bukan jalan saya.
Saya merasa gelisah di tambang, jadi akhirnya saya memutuskan untuk resign. Meskipun begitu, saya tidak pernah membenci pekerjaan tersebut. Saya tidak munafik, karena pekerjaan itu membantu meningkatkan perekonomian keluarga saya. Saya sangat berterima kasih atas itu semua. Setelah resign, saya menganggur selama hampir 1 tahun. Saat itu, saya merasa sangat berat karena baru saja melahirkan anak pertama. Akhirnya, saya mencoba melamar pekerjaan di perusahaan lokal yang bergerak di bidang fashion Jersey. Meskipun saya juga mencoba melamar di BBWS, namun tidak pernah berhasil. Saya baru menyadari betapa sulitnya mencari pekerjaan di luar dunia tambang. Saya sangat ingin bekerja sesuai dengan minat saya dan melanjutkan studi di bidang yang saya sukai. Namun, pada akhirnya, harapan saya tidak terwujud. Bagi mereka yang mengalami hal yang sama seperti yang saya rasakan, bagaimana cara Anda berdamai dengan diri sendiri dalam menghadapi kondisi tersebut?