Ada, saya sempat melakukan ini saat masih memiliki hobi menulis novel. Karena saya sudah lumayan jenuh dengan banyaknya mitologi graeco-roman/norse nyaris di semua fantasi barat maupun jepang, saya mencari mitologi mitologi yang lebih esoteris sebagai bahan world building novel urban fantasy saya.
Pada dasarnya, saya mengambil tiga mitologi berbeda: Mesopotamia, Jewish Kabbalah dan Gnoticism, mengambil karakter dari mitologi dan teologi yang muncul dari literatur literatur yang saya baca, dan membuatnya menjadi mitologi baru. Anggap saja seperti reinvent the wheel, cerita-cerita tersebut bukanlah hal yang baru, tapi karena lebih esoteris, pengalamannya menurut saya bisa jadi lebih menarik dan membuat penasaran daripada membaca mitologi yang itu lagi itu lagi.
Tapi di tengah perjalanan, saya merasa world building yang saya buat menjadi unnecessarily too complex. Semakin saya menulis dan membaca literatur yang memiliki konsep serupa, saya merasa melakukan kesalahan besar dengan membuat cerita yang world building-nya fantastis – terkadang apa yang kita anggap fantastis, tidak akan diperdulikan oleh pembaca. Yang paling penting dalam tulisan fiksi adalah, pembaca menyukai karakternya atau tidak, apakah karakternya bisa relate-able pada pembaca.
Contoh: Masih ingat game berjudul Xenogears yang dirilis tahun 1998?
lukisan Sophia, yang ceritanya dalam game ini adalah pendiri sebuah gereja, sebuah alegori pada Maria Magdalena dan shout-out pada lukisan Monalisa. Sophia yang berarti Kebajikan (Wisdom) dalam gnostikisme diinterpretasikan oleh uskup Valentinus sebagai pasangan dari Kristus.
Saat saya masih remaja, saya tidak terlalu peduli dengan plot game, karena grafiknya sangat penting. Namun, romansa yang berulang antara kedua karakternya, yang berlangsung selama tiga abad, menarik bagi saya. Setelah saya dewasa, saya tidak ingat sembilan puluh persen cerita ini, kecuali sepuluh persen yang berfokus pada dilema antar karakter daripada pembangunan dunia yang dibuat oleh penulis. Pada dasarnya, dasar plot game ini adalah bahwa tuhan adalah makhluk asing, dan gereja katolik berfungsi sebagai alat persuasif untuk membuat makhluk tersebut dianggap sebagai tuhan. Teori Judeo-Christian, Gnostikisme, dan psikologi Freudian memengaruhi plot Xenogears yang sangat kompleks.
Iya, karakter kita dalam game ini pernah disalib oleh para musuh.
Plot xenogears yang rumit dan pembangunan dunia yang kompleks sebenarnya didasarkan pada keinginan si penulis game untuk melanjutkan mitologi game ini ke game-game berikutnya. Sebelum dirilis, game ini memiliki episode enam dari Project Noah. Dengan kata lain, cerita-cerita yang rumit ini sebenarnya adalah bab enam dari sebuah cerita yang bahkan belum dipublikasikan.
Meskipun Xenogears menjadi game terlaris, Squaresoft tidak lagi menerbitkan sekuel atau prequel untuk seri Xenogears. Takahashi akhirnya berusaha mewujudkan visinya, dan seri Xenosaga muncul di PlayStation 2. Seri ini memiliki mitologi serupa dengan Xenogears, tetapi dengan karakter yang berbeda. Namun, episode ketiga mengakhiri Xenosaga.
Takahashi tampaknya setelah itu sadar bahwa sia-sia menulis sebuah cerita dengan skala yang masif jika cerita tersebut tidak selesai atau beresiko tidak selesai. Akhirnya di game berikutnya, Xenoblade Chronicles, dia membuat sebuah setting cerita dimana ceritanya bisa langsung selesai tanpa ada pertanyaan menggantung di akhir cerita (self-contained universe).
Setelah mempelajari pengalaman penulis senior di industri video game, saya akhirnya memulai introspeksi saya sendiri. Setelah menulis ulang plot novel saya delapan kali (dan banyak halaman yang dihapus), saya memutuskan bahwa saya tidak bisa melanjutkannya.
Saya memutuskan bahwa saya akan menulis tentang karakter yang kuat daripada dunia yang rumit jika saya ingin menulis lagi. Saat pembaca menyukai karakter, itu adalah cerita yang bagus. Anda masih ingat semua situasi rumit dan komedi game of thrones? Saya tidak ingat secara pribadi, tetapi saya ingat saat karakter yang saya sukai atau yang saya benci dibunuh.
Sayangnya, membangun karakter kuat adalah kelemahan saya, karena saya tidak bisa menggambar, dan saya kesulitan membayangkan seperti apa rupa karakter yang saya tulis.