Sebelum menjawab dengan cepat, saya ingin berbagi pendapat saya tentang cara saya mencegah LGBT pada anak saya nanti. Keluarga adalah sekolah utama bagi anak-anak untuk menumbuhkan rasa takut dan cinta kepada Tuhan.
Orang tua harus mengajarkan dasar agama kepada anak mereka sejak kecil, terutama ketika mereka belajar tentang orientasi seksual mereka. Hal ini dilakukan agar anak-anak itu dapat menahan diri dari kelainan seksual dan tidak berlarut-larut di dalamnya ketika mereka belajar tentangnya.
Adapun jika saya mengetahui bahwa (na’udzubillah) anak saya mengidap kelainan tersebut, ada banyak tahapan yg akan saya lakukan, diantaranya:
1. Instrospeksi diri sebagai orangtua
Mungkin karena pola pendidikan kita yang salah, yang membuatnya takut untuk berbicara langsung, atau karena kita sama sekali tidak mengajarkannya nilai-nilai agama.
Salah satu kesalahan yang dilakukan oleh orang tua adalah menganggap institusi sekolah sebagai tempat pendidikan utama dan satu-satunya bagi anaknya. Mereka percaya bahwa “sekolah” itu cukup untuk mendidik anak dan bahwa peran orangtua sebagai pendidik dapat digantikan oleh institusi sekolah. Mereka tidak peduli dengan cara guru mendidik anaknya dan lingkungan pertemanan mereka di sekolah.
Ketika anaknya sudah pulang dari sekolahpun, si ortu ini hanya sibuk dengan aktivitasnya sendiri, tidak punya waktu berkumpul dan sharing bersama keluarganya di rumah. Dan ketika mereka tau dari orang lain bahwa anaknya ternyata melakukan hal-hal keji, si ortu malah marah, padahal bisa jadi merekalah yang berperan besar dalam kesalahan anaknya tersebut tanpa ia sadari.
2. Membuat mereka terbuka menceritakan ttg orientasi seksualnya, dan apa yang mereka lakukan atau rasakan mengenai orientasinya tersebut.
Kenapa tahap ini perlu ada atau diusahakan? Dia mungkin sangat menyadari bahwa perilakunya itu adalah penyakit yang tidak baik, tetapi dia mungkin tidak memiliki kekuatan atau kekuatan yang diperlukan untuk melawannya.
Banyak pengidap LGBT sudah mencoba menyembuhkan diri, meskipun mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Ada yang melakukan terapi dengan psikiater, psikolog, atau bahkan ruqyah. Namun, orientasi seks menyimpang mereka masih menjadi tantangan bagi mereka. Kita sebagai orang hetero tidak tahu rasanya bagaimana individu LGBT -yg masih punya akal dan iman- itu melawan dan menahan hasrat menyimpang yang ia miliki.
Sebagai orangtuanya, tentu saya tidak ingin peran saya digantikan oleh psikiater, guru atau siapapun. Saya berusaha membuat anak saya nyaman bercerita kepada orangtuanya dulu sebelum kepada orang lain, dan tentu hal tersebut tidak bisa saya capai jika metode parenting saya salah. Dari ceritanya tersebut, maka saya bisa..
3. Memberinya nasihat dengan bijak dan ilmiah sesuai tingkat pemahamannya
Setelah dia bercerita semuanya, saya akan jelaskan kenapa perilaku LGBT itu dilarang dalam agama dan tidak sesuai dengan fitrah yang manusia miliki. Jika ia tidak menahan dan tidak melawan penyakit itu, maka akan membahayakan dirinya, lingkungannya, dan masyarakat secara umum, entah secara moral, agama, ataupun sosial.
Disini saya memberi penekanan pada kalimat “bijak dan ilmiah sesuai tingkat pemahamannya”, karena saya melihat beberapa oknum anti-LGBT memiliki kebencian yang buta terhadap pengidap kelainan ini. Akhirnya cenderung membuat orang lain lari dari nasehat yang ia sampaikan. Tidak sedikit argumen seperti itu berujung pada caci-maki, kekerasan, ataupun vonis tak berdasar. Meskipun itu bisa dimaklumi, tapi tetap, tidak semua yg diberi penyakit itu ingin dirinya berlama-lama mendapatkan penyakit itu.
Jika peran kita sebagai orang tua membuatnya takut untuk berbicara dengan kita, dia akan mencari teman bicara yang lebih nyaman yang tidak kita ketahui. Mereka juga bisa berasal dari SJW liberal atau aktivis LGBT.Jika tidak ada solusi, anak kita mungkin malah dipekerjakan. Situasi seperti ini pasti mengancam. Na’udzubillah, Tuhan. Saya juga akan.
4. Menutup celah-celah yang menjadi penyebab penyimpangannya, dan mencari “obat”
Saya dapat menemukan sumber masalahnya dari ceritanya. Jika penyebabnya adalah isi HP-nya, maka saya bisa mengajaknya untuk melakukan hal-hal yang lebih produktif daripada menghabiskan waktu bermain HP; jika penyebabnya adalah lingkungan sekolahnya, maka saya bisa membantunya pindah ke sekolah lain, atau bahkan saya bisa memilih untuk belajar di rumah. Jika itu disebabkan oleh fakta bahwa kota tersebut adalah pusat komunitas LGBT, saya dan keluarga saya akan memilih untuk tinggal di kota yang dikenal lebih konservatif dalam hal ini.
Selain itu, saya membantunya dalam mencari “obat”, yaitu terapi ke psikolog atau psikiater, serta ke guru yang benar-benar guru. Selama metode yang akan saya gunakan benar-benar shahih berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pendekatan pemahaman Salafush-Shalih, saya akan melakukannya.