Betul, meskipun Jepang adalah negara maju, budaya patriarki masih kuat di sana. Misalnya, dalam sistem monarki Jepang, wanita masih sangat terbatas dalam peran mereka, dan hak mereka untuk mewarisi tahta sering kali dibatasi. Ini menunjukkan bahwa meskipun sebuah negara mungkin maju dalam banyak aspek, budaya patriarki bisa tetap berpengaruh kuat dalam struktur sosial dan politiknya.
Iyalah.
Indonesia sebagai negara mayoritas muslim bahkan sesungguhnya sudah lebih baik dibandingkan negara-negara di Timur Tengah. Karena Kalo kita bicara patriarki itu berarti sistem sosial dimana wanita tidak diperbolehkan memiliki hak yang setara dengan pria. Bisa dilihat dari kepemerintahannya saja sudah banyak kok wanita-wanita dengan banyak potensial ditempatkan di bidang kepemimpinan dalam pemerintahan.
Nah bagaimana dengan negara-negara non muslim?
Negara maju seperti Jepang saja masih patriarkis kok. Untuk yang mengikuti kekuasaan monarki di Jepang pasti tau siapa ini:
Penting untuk dicatat bahwa meski kekuasaan monarki di Jepang bersifat konstitusional, tetap ada aspek patriarki yang terlihat. Monarki Jepang, meskipun memiliki kekaisaran yang tertua dan kaisar yang dihormati, tetap memiliki struktur yang membatasi peran wanita dalam pewarisan takhta.
Permaisuri Masako, sebagai istri Kaisar Naruhito, memiliki latar belakang yang sangat mengesankan—dari pendidikan di Harvard dan Oxford hingga karir diplomatik di Inggris. Walaupun perannya sebagai Permaisuri signifikan dalam konteks sosial dan ceremonial, wanita dalam keluarga kekaisaran Jepang tidak dapat mewarisi takhta. Sebagai contoh, meski Kaisar Naruhito sangat menghargai Masako dan berjuang keras untuk mendapatkan persetujuannya, status dan peran Masako tetap berada dalam kerangka patriarki yang lebih besar dari sistem kekaisaran Jepang.
Pewaris takhta saat ini adalah Fumihito, adik Kaisar Naruhito, menunjukkan bahwa meskipun sistem kekaisaran telah beradaptasi dengan zaman, struktur patriarkis dalam penentuan pewaris tetap ada.
Tentu, ini adalah konflik yang kompleks dan emosional. Permaisuri Masako menghadapi kritik dan tekanan berat, baik dari media maupun anggota keluarga kekaisaran, yang menilai latar belakangnya dan mengkritik kemampuannya untuk memberikan pewaris laki-laki. Tekanan ini bukan hanya mencerminkan pandangan patriarki yang mendalam di Jepang, tetapi juga dampak dari harapan publik dan norma sosial yang ketat.
Setelah mengalami beberapa keguguran dan hanya melahirkan seorang putri, Masako menjadi sasaran kritik, dengan banyak yang menyalahkannya atas ketidakmampuan untuk melahirkan pewaris laki-laki, sesuatu yang sangat diharapkan oleh publik Jepang. Tekanan tersebut berkontribusi pada kondisi mentalnya, yang akhirnya didiagnosa sebagai depresi berat. Kaisar Naruhito, dalam upaya melindungi istrinya, meminta publik untuk lebih memahami dan menghormati Masako, dan menekankan pentingnya memberi dukungan, bukan tekanan.
Proses penyembuhan Masako memakan waktu cukup lama, dari 2003 hingga 2011, mencerminkan betapa serius dan mendalamnya dampak tekanan dan kritik yang dia hadapi.
Cerita tentang Permaisuri Masako dan keluarganya memang sangat kompleks dan penuh tantangan. Tekanan publik dan kritik yang dia terima akibat masalah penerus tahta serta dampaknya terhadap Putri Aiko sangat mencerminkan betapa beratnya beban yang harus dipikul oleh keluarga kekaisaran.
Perubahan peraturan mengenai pewaris tahta di Jepang memang menjadi topik yang sangat sensitif dan kontroversial. Upaya-usaha yang dilakukan oleh Perdana Menteri Junichiro Koizumi dan Shinzo Abe menunjukkan adanya kesadaran akan kebutuhan untuk reformasi, tetapi keputusan untuk membatalkan usulan tersebut karena lahirnya Pangeran Hisahito juga mencerminkan betapa kuatnya pengaruh tradisi dan harapan publik di Jepang.
Betul, tampaknya Ibu Masako kini lebih ‘lega’ dari sorotan publik yang intens, meskipun tekanan yang dialaminya selama bertahun-tahun sangat berat. Cerita tentang Masako memang mengungkap betapa dalamnya sistem patriarki masih memengaruhi bahkan di negara maju seperti Jepang.
Di Indonesia, meskipun ada tantangan, wanita-wanita berbakat seperti Maudy Ayunda memang memiliki kesempatan yang lebih luas untuk berperan dalam berbagai bidang, baik sebagai bagian dari kepemerintahan maupun sebagai figur publik yang diakui. Ini menunjukkan kemajuan dalam hal pemberdayaan perempuan, meski masih ada ruang untuk perbaikan lebih lanjut di berbagai sektor.
Saya teringat wawancara ibu Sri Mulyani bersama bapak Gita Wirjawan yang ini:
“Melihat proporsi populasi, di mana perempuan sedikit lebih banyak dibandingkan laki-laki, jika kita hanya memandang perempuan sebagai tambahan atau catatan belaka, berarti kita menyia-nyiakan setengah dari populasi yang sebenarnya sangat potensial. Misalnya, dalam pendidikan, sering kali perempuan yang menjadi juara kelas atau mahasiswa teladan. Namun, begitu mereka memasuki dunia kerja, mereka harus menghadapi dilema besar antara menikah atau melanjutkan karir. Dan jika mereka memilih untuk memiliki anak, mereka harus memilih antara mengurus anak atau melanjutkan karir, yang merupakan pertanyaan yang jarang dihadapi oleh laki-laki. Sebagai seorang menteri perempuan, saya sering ditanya tentang bagaimana memilih antara karir dan keluarga. Ini menunjukkan bahwa perempuan menghadapi tantangan yang berbeda dan lebih berat dibandingkan laki-laki, seringkali dipengaruhi oleh norma sosial, budaya, dan interpretasi agama.”
“Sebagai wanita Indonesia, kita patut bersyukur. Meskipun masih ada kekurangan dalam sistem hukum dan banyak tantangan, kita sudah memiliki hak untuk bergerak bebas. Solidaritas antara wanita juga semakin kuat, terutama dalam menangani kasus penganiayaan atau pelecehan. Mari kita terus saling melindungi dan mendukung satu sama lain.”