Konsep wadah rezeki.
Ada yang bilang :
Kalau kamu mau rezekimu ngalir, perbesar wadah rezekimu dengan sedekah, ngasih orang tua, bantu sesama, dll.
Namun, saya dulu pernah berpikir bahwa itu tidak membuat perbedaan signifikan pada rezeki saya. Ternyata, saya menyadari bahwa ada yang salah dalam cara saya memahami konsep tersebut.
Cerita pertama,
Baru saja saya tersadarkan. Ketika ngelamun, tiba-tiba ada pertanyaan yg mampir dipikiran saya :
Rezeki saya dengan kakak saya kok beda ya? Kakak saya dulu sesusah-susahnya gak pernah nganggur. Setelah habis kontrak kerja pun, kakak saya langsung dapet kerja tanpa nganggur sedikitpun. Sesusah-susahnya kakak saya, masih bisa belanja ini itu, apa-apa keturutan, dsb. Sedangkan saya kok bisa sampe nganggur 1 tahun. Bahkan, ketika saya dapat kerjaan, ya biasa-biasa saja.
Ternyata, saya menyadari ada yang keliru dalam pemikiran saya. Saya berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Dulu, meskipun saya hanya seorang admin online, rezeki saya mengalir deras—pekerjaan selalu ramai dan segala sesuatu yang sebelumnya tidak pernah bisa saya beli, akhirnya bisa terbeli. Namun, di sisi lain, saya sering mengeluh karena orang tua saya berada dalam situasi ekonomi yang kurang baik. Akhirnya, saya harus membantu mereka, meskipun tidak sepenuhnya.
Kalau ditanya :
Lah kenapa kok masih ngeluh?
Saya sering mengeluh karena tidak bisa menabung meski sudah bekerja sejak SMA hingga usia 22 tahun. Selama lima tahun tersebut, meski penghasilan saya cukup baik, selalu ada saja halangan yang membuat tabungan saya terpakai, entah itu untuk bensin, SPP, pulsa, atau kebutuhan pribadi lainnya, terutama karena biaya sekolah saya yang cukup mahal.
Setelah lulus SMA, saya berharap bisa menabung dengan lebih mudah karena tidak kuliah. Namun, kenyataannya tidak demikian. Pekerjaan saya semakin berkembang dan mendapatkan uang terasa lebih mudah, tapi keadaan ekonomi keluarga saya tetap tidak membaik. Saya masih harus membantu mereka dan tetap kesulitan menabung.
Saya sempat berdoa kepada Tuhan, meminta agar diberikan rezeki yang cukup untuk diri sendiri dan keluasan rezeki untuk orang tua saya. Doa saya seperti ini:
“Ya Allah, saya lelah bekerja tanpa ada sisa tabungan. Tolong berikan rezeki yang cukup untuk diri saya, dan keluasan rezeki untuk orang tua saya, supaya saya bisa menabung dengan uang yang biasanya saya berikan kepada mereka.”
Kemudian, saya mengalami ujian berupa masa nganggur selama satu tahun. Selama waktu itu, ekonomi orang tua saya membaik meski tidak berlebihan, namun cukup. Sementara itu, saya tidak memiliki pemasukan sama sekali. Doa saya ternyata terkabul; Tuhan memberikan rezeki yang cukup untuk saya sendiri—yaitu makanan dari orang tua saya.
Menurut saya, begini :
Ternyata, sehebat apapun kita dalam menghasilkan rezeki, itu bukan 100% milik kita. Rezeki kecil pun, ternyata didalamnya masih ada rezeki orang lain yg harus kita alirkan. Kalau kita mengeluhkan karena membantu orang lain, bisa jadi setelah kita berhenti membantu orang tsb, pekerjaan kita yg Tuhan ambil kembali.
Mengapa rezeki saya dan kakak saya berbeda? Jawabannya terletak pada tanggung jawab masing-masing. Kakak saya tidak pernah merasakan masa nganggur, karena tanggung jawabnya berbeda. Kakak saya membiayai orang tua yang ekonominya jatuh bangun, sekolah saya, dan adik saya. Jadi, tidak heran jika rezeki kakak saya berbeda dari saya.
Cerita kedua adalah pengalaman teman saya. Teman saya sering mengeluh karena mertua selalu menekan untuk memberikan jatah bulanan dengan target tertentu. Padahal, perekonomian teman saya hanya pas-pasan, meski dia dan suaminya bekerja. Meskipun sering mengeluh, dia tetap memberikan jatah tersebut. Setelah mertua meninggal dunia, teman saya berharap beban biaya akan berkurang. Namun, tidak demikian.
Beberapa bulan setelah mertua meninggal, teman saya mengalami pemutusan hubungan kerja dan terpaksa nganggur. Hanya suaminya yang bekerja, dan penghasilan mereka kini hanya cukup untuk makan. Meskipun suaminya mendapat kenaikan gaji sekitar 300 ribu, itu masih tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan membeli barang seperti dulu.
Kalau ditanya :
Kenapa orang yg gemar sedekah rezekinya selalu ngalir?
Menurut pandangan saya, jawabannya adalah karena diberikan upah oleh Tuhan. Dari pengalaman saya dan orang lain yang saya amati, tampaknya kita sebenarnya berperan sebagai distributor atau penyalur rezeki. Jika kita sering menyalurkan rezeki melalui sedekah dan membantu orang lain, maka upah dari Tuhan juga akan semakin banyak. Sebaliknya, jika kita tidak mengalirkan rezeki tersebut, maka rezeki kita hanya akan cukup untuk bertahan hidup saja.
Pesannya adalah
Ketika mendapat rezeki apapun, tanamkan bahwa “semua ini bukan milik saya”.
Hilangkan semua kemelekatan akan rezeki & kurangi hal yg terlalu meng-AKU-i. Supaya nantinya ketika rezeki tsb harus terbagi, kita tidak mudah kecewa. Karena ya kembali lagi bahwa “Semua bukan milik saya”
Apabila saat ini kita sedang merasa capek ketika diberi tanggung jawab untuk menjadi perantara rezeki orang lain, seharusnya kita harus bahagia. Jangan malah menganggap orang tsb adalah beban. Karena percayalah, bisa jadi ketika orang tsb tidak lagi menjadi tanggung jawab kita, bisa saja ada suatu nikmat yg akan Tuhan ambil dari kita. Alasannya ya karena tugas kita sudah selesai.
Kita tidak bisa lhoo hanya meminta rezeki yg hanya cukup untuk kpentingan kita pribadi tanpa harus menyalurkan rezeki orang lain. Sekecil apapun itu, ada rezeki orang lain. Kalau kita egois untuk kepentingan pribadi, maka, tidak heran kalau Tuhan mengambil paksa rezeki kita. Entah itu melalui musibah, dsb. Ya tidak heran juga ketika kita sering sial, biasanya ada orang yg bilang “Wah, kamu kurang sedekah”. Karena ya begitulah filosofinya.
Note : ini menurut pendapat saya pribadi saja ya.