Q: “Bagaimana Anda bisa mencapai titik di mana Anda benar-benar mengenal diri sendiri?”
Pertanyaan ini menyiratkan beberapa hal menarik:
* Mengenal diri sendiri—siapakah diri yang sebelumnya kita kenal?
* ‘Di titik…’, apakah perjalanan pengenalan diri berakhir pada suatu puncak?
* Jika ini adalah perjalanan, dari mana kita memulai dan ke mana kita pergi?
Daripada menambah pertanyaan, mari saya coba berbagi pengalaman. Perlu diingat bahwa ini hanyalah sebuah sharing, karena perjalanan ini sangat personal dan bukanlah template yang bisa diterapkan secara umum.
Mari kita mulai…
“Diri Sendiri”—ketika di pertemuan keluarga, bagaimana kamu memperkenalkan dirimu? Sebagai anak dari X, orang tua dari Y, lulusan cum-laude dari universitas Z, pekerjaanku ABC, jabatanku DEF, dan sebagainya.
Bagaimana jika saya katakan bahwa semua itu bukanlah ‘aku yang sebenarnya’ yang kamu perkenalkan? Itu semua adalah peran-peranmu, bukanlah jati dirimu yang sejati. Bahkan nama di KTP, agama, dan sebagainya hanyalah ‘label administratif’ identitas, bukanlah identitasmu yang sebenarnya. Semua itu diberikan kepadamu setelah kamu lahir. Sementara dirimu yang sejati sudah ada sebelum semua itu ada.
Atau mari kita lihat dari sudut pandang yang berbeda.
Kita memiliki banyak lapisan dan dimensi. Ada dimensi fisik yang paling jelas dan dapat dirasakan, di mana banyak dari kita berbangga dengan ‘body goals’ atau merasa minder karena penampilan fisik kita. Ini adalah identitas yang terkait dengan dimensi fisik.
Ada dimensi psikologis, di mana setiap orang memiliki kepribadian unik, seperti yang ramah dan ceria atau yang cenderung tertutup dan ketus. Ini adalah dimensi kepribadian kita.
Kemudian, ada dimensi intelektual, di mana kita bisa berpikir, membentuk konsep, dan memodelkan dunia dalam pikiran kita. Namun, ada satu ‘dimensi’ di mana semua dimensi ini terjadi (walaupun istilah ‘dimensi’ ini tidak sepenuhnya tepat). Itu adalah dimensi spiritual, ruh, atau kesadaran—meskipun ini hanya pendekatan bahasa karena kita berbicara tentang sesuatu yang melampaui batasan dan definisi.
Bingung? Haha… Mari kita sederhanakan.
Kita bisa membagi menjadi ‘Real Self’ dan ‘Unreal Self’.
‘Unreal Self’ adalah semua yang kita bahas di atas—identitas dengan tubuh fisik, kepribadian, agama, dan peran-peran lainnya. Saya mendengar bahwa kata ‘agama’ berasal dari bahasa Jawa ‘ageman’, yang berarti ‘baju’.
‘Unreal Self’ cenderung mengidentifikasikan diri dan membandingkan diri dengan orang lain, misalnya dengan merasa superior terhadap kelompok lain. Unreal Self ini juga sangat peduli dengan bagaimana orang lain memandangnya.
Mungkin itulah kenapa kita sangat concern tentang “Selfie” dan bukan tentang “Real Self”
Bagaimana jika kita langsung menuju inti pembahasan tentang “Real Self”?
Ini berita untuk kamu:
Bermacam-macam dan beragam lapisan-lapisan Unreal-Self ini seperti banyaknya kulit bawang, layer-demi-layer, membungkus suatu inti yang kosong, dimana si “Real Self” berada.
Apakah sekarang jadi lebih mudah untuk mengenali “Real Self”?
Berita baiknya adalah: Tidak perlu meditasi mendalam atau perjalanan ke Ashram di Tibet untuk menemukannya.
Kita hanya perlu memahami “Unreal Self”. Dengan kesadaran bahwa lapisan-lapisan tersebut hanyalah “ageman” atau baju yang kita pakai, kita bisa mulai menyelami lapisan lebih dalam. Kesadaran ini berfungsi seperti cahaya yang menerangi “Unreal Self” yang sering kali penuh ketakutan, mengubahnya menjadi kasih sayang.
Salah satu cara paling sederhana untuk mengenali “Unreal Self” adalah dengan memperhatikan emosi-emosi seperti kemarahan, kecemburuan, ketidakberdayaan, atau keinginan berlebihan.
Misalnya:
– “Anak ini tidak tahu berterima kasih” – menunjukkan ego kita sebagai orang tua.
– “Pacarku tidak benar, suka mendaki gunung hujan-hujanan” – mengungkapkan ego kita yang ingin mengontrol dunia sesuai keinginan kita.
– “Orang bilang aku bodoh, aku akan buktikan jadi CEO” – meski rasa sakit hati bisa menjadi pendorong positif, ini juga menambah lapisan Unreal Self yang didasari oleh dendam dan rasa sakit hati.
Dari moment ke moment, di keseharian kita, sesaat setelah kita dihinggapi kemarahan, ataupun rasa ingin mengontrol dunia, kembalikan kesadaran kita dengan menikmati beberapa tarikan nafas dalam, tarik ujung bibir dan membentuk senyuman di bibir, dan katakan dalam hati: “Ahh.. itu tuh, si kepingan ‘aku’ yang pemarah dan pengontrol lagi muncul”.
Percaya atau tidak, tanpa perlu sesi dengan psikolog, kita bisa mulai menyembuhkan lapisan-lapisan Unreal Self hanya dengan menerapkan prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari.
Ada keuntungan lain dari menggunakan framework pemikiran ini. Kita sering dikelilingi oleh orang-orang yang mungkin menjengkelkan, baik di tempat kerja maupun dalam keluarga. Dengan menggunakan framework ini, kita tidak perlu membenci mereka, karena mereka juga sedang terjebak dalam lapisan-lapisan Unreal Self, sama seperti kita. Beberapa orang mungkin mulai menyadari dan menggali lapisan luar, sementara yang lain mungkin belum sampai ke titik tersebut. Tidak masalah, setiap jiwa memiliki waktu dan perjalanan kesadarannya masing-masing.
Jadi, mengapa kita perlu mengenali “Real Self”? Menurutku, ini bukan soal perlu atau tidak perlu. Ini adalah bagian dari evolusi perjalanan jiwa kita. Sebenarnya, kita bukanlah manusia yang memiliki jiwa, melainkan jiwa yang sedang menjalani pengalaman sebagai manusia.
Di sini, kita menyadari bahwa lapisan-lapisan Unreal Self, betapapun parahnya, sebenarnya tidak masalah karena itu bagian dari perjalanan jiwa yang sedang menjalani pengalaman sebagai pribadi dengan berbagai sifat, bahkan yang mungkin tampak ekstrem atau merugikan. Soul yang sedang belok atau tersesat dalam identifikasi dengan Unreal Self mungkin kehilangan arah dan terjebak dalam sikap merasa superior, angkuh, atau bahkan berperilaku merugikan.
Namun, perjalanan jiwa tersebut berpotensi untuk kembali ke jalur yang benar, dan terkadang jiwa perlu waktu untuk melepaskan keterikatan pada Unreal Self yang merasa harus menjadi yang paling benar, paling istimewa, atau merendahkan orang lain. Dalam tradisi Islam, misalnya, jiwa yang ‘pulang’ adalah jiwa yang telah mencapai kedamaian, yaitu jiwa yang telah terbebas dari ketakutan dan perasaan tidak cukup baik, yang seringkali mendorong kita untuk merasa lebih unggul dengan merendahkan orang lain. Kedamaian ini menunjukkan koneksi dengan Real Self.
Lalu, bagaimana kita bisa mengukur kemajuan kita dalam proses ini? Berikut adalah beberapa indikator dari Ferd yang meringkas tanda-tanda bahwa kita sedang mengupas lapisan Unreal Self dan mendekati Real Self: