Suka dan Duka Mahasiswi Muslimah Indonesia di Jerman
Suka:
- Bertemu dan Berbagi dengan Sesama Muslim: Pada tahun 2019, saya mengikuti I’tikaf di bulan Ramadan di sebuah masjid milik yayasan Turki dekat rumah. Ini adalah pengalaman pertama saya mengikuti I’tikaf, dan saya sangat menikmati momen tersebut. Setiap malam saya datang sebelum Isya dan ikut sholat tarawih di masjid yang penuh sesak. Karena adanya peraturan jam tenang setelah pukul 10 malam, masjid harus menutup jendela untuk mengurangi kebisingan. Saat sahur, meski saya hanya membawa beberapa kurma dan minuman karena masih kenyang, saya malah disuguhi banyak makanan oleh jamaah masjid, dan saya membawa pulang banyak makanan. Saya juga dapat teman baru dan berkomunikasi dengan mereka.
Pengalaman serupa juga saya rasakan saat berada di Amsterdam. Setelah sholat Jumat, saya dan teman mampir ke masjid terdekat dan disambut dengan makan oleh ibu-ibu di sana. Walau kami berkomunikasi dengan bahasa yang sangat sederhana, pengalaman tersebut sangat menyenangkan.
- Belajar dari Orang Jerman yang Kritis: Di Jerman, saya banyak belajar tentang Islam. Banyak orang Jerman penasaran dan bertanya tentang Islam, penutup kepala, dan puasa. Hal ini memberi kesempatan bagi saya untuk menjelaskan agama saya. Misalnya, ada teman yang bertanya apakah saya harus melepas hijab saat mencuci rambut. Meski terkadang pertanyaannya lucu, pengalaman ini membuka kesempatan untuk berdialog.
- Belajar Menghargai Perbedaan: Saya juga belajar berbagai madzab Islam dan perbedaan cara beribadah dari teman-teman. Ini adalah kesempatan untuk memahami dan menghargai perbedaan dalam praktik keagamaan.
Duka:
- Hijab di Mata Orang Lain: Masih banyak orang yang menganggap wanita berhijab sebagai terbelakang atau terhalangi kebebasannya. Saya sering menghadapi stereotip ini, yang terkadang mengganggu.
- Diskriminasi dan Rasisme: Diskriminasi adalah tantangan yang sering saya hadapi. Meskipun Jerman mungkin tidak separah beberapa negara Eropa lainnya dalam hal pelarangan hijab, tetap saja saya mengalami situasi diskriminatif. Salah satu pengalaman saya adalah ketika bos saya meminta saya untuk melepas hijab saat bekerja, mengklaim bahwa hijab membahayakan keamanan saya, padahal pekerjaan saya hanya memasukkan pensil ke dalam kardus. Saya tetap bertahan dengan hijab dan bekerja penuh waktu meski merasa emosional. Bahkan orang-orang dari Timur Tengah pun pernah mendiskriminasi saya.
- Kesulitan dengan Waktu Sholat: Di Indonesia, waktu sholat biasanya diikuti dengan istirahat khusus, tetapi di Jerman, istirahat tidak selalu memungkinkan. Kadang saya harus terburu-buru ke kelas atau mengejar transportasi umum setelah sholat, agar tidak terlambat.
- Perubahan Waktu Sholat: Waktu sholat di Jerman berubah sepanjang tahun, dan selama musim panas, waktu subuh bisa sangat pagi dan isya sangat malam. Hal ini membuat tidur sore tidak mungkin dilakukan dan terkadang saya harus berpuasa hingga sangat larut malam.
Pengalaman di Jerman sebagai mahasiswi Muslimah menghadirkan tantangan dan kesempatan yang unik, yang membentuk pengalaman belajar dan kehidupan sehari-hari saya di negara tersebut.