Ketika Soekarno masih menjabat sebagai presiden, Indonesia sempat merencanakan produksi pesawat, dimulai dengan membuat pesawat milik orang lain, yaitu Fokker F-27.
Lalu, mengapa negara yang baru saja selesai dari perang kemerdekaan dan masih bergelut dengan berbagai pemberontakan ingin memproduksi pesawat? Apakah pesawat dapat membantu kebutuhan rakyat?
Perhatikan iklan pesawat tersebut. Pesawat tersebut diparkir di lapangan dengan latar belakang rumah pedesaan. Ada juga truk di samping pesawat untuk memuat barang.
Tulisan dalam iklan itu menyebutkan bahwa barang bisa dimuat dari atas truk karena lantainya rendah dan ada bidang miring. Penumpang hanya memerlukan tangga kecil untuk naik, dan mesinnya tidak perlu dipanaskan sehingga pesawat bisa terbang lebih awal.
Jadi, pesawat ini memang dirancang untuk mengangkut produk pertanian di daerah dengan fasilitas bandara yang minim. Mesin yang tidak perlu dipanaskan memungkinkan pesawat terbang lebih cepat, dan kargo dapat dimuat langsung dari truk.
Pada tahun 2016, saya mengunjungi sebuah desa terpencil yang hasil pertaniannya melimpah, seperti singkong, jagung, kelapa, dan alpukat. Namun, hasil panen sering kali terbuang sia-sia karena tidak bisa diangkut keluar desa. Menurut tetua desa, mereka hanya memerlukan dua hal: jalan beraspal dan listrik. Dengan kedua hal tersebut, mereka dapat mengelola kehidupan mereka sendiri.
Jalan tol yang ada di Jawa memungkinkan perjalanan dari Jakarta ke Surabaya dalam waktu 10 jam. Dengan jalan tol, truk barang bisa mencapai Jakarta dari Jawa Timur dalam waktu kurang dari sehari. Hal ini membuka peluang bagi penduduk desa untuk menjangkau pasar yang lebih besar, bahkan hingga Jakarta.
Jadi, meskipun mereka mungkin tidak membeli mobil untuk pergi ke Jakarta, mereka bisa menjual produk mereka ke pasar yang lebih luas.
Indonesia tampaknya perlu mengadopsi filosofi Tiongkok yang mengatakan: “Untuk membangun bangsa, dimulai dengan membangun jalan.”
Atau mungkin Indonesia lebih suka mengikuti jejak bangsa Israel yang berputar-putar di padang gurun selama 40 tahun sebelum akhirnya memasuki Tanah Perjanjian. Mungkin karena kebiasaan berputar-putar ini, Maudy Ayunda sudah direbut orang Korea.