Menurut sudut pandang Penulis, pertanyaan tersebut berakar pada dua asumsi. Asumsi pertama adalah bahwa “iklim investasi di China tidak bersahabat” bagi perusahaan AS, yang menyebabkan mereka perlu berpindah ke negara lain yang dianggap lebih bersahabat. Asumsi kedua adalah bahwa ada negara lain yang bisa menawarkan produksi barang dengan biaya yang lebih murah, umumnya karena upah buruh yang lebih rendah daripada di China.
Mari kita telaah asumsi pertama: apakah benar iklim investasi di China tidak bersahabat? Berdasarkan laporan dari American Chamber of Commerce di Shanghai pada tahun 2023, perusahaan-perusahaan AS menunjukkan sebaliknya. Dari sekitar 50.000 perusahaan AS yang beroperasi di China, mayoritas justru meningkatkan atau memperbesar investasi mereka di negara tersebut. Mereka menyatakan bahwa alasan utama adalah potensi pertumbuhan pasar China yang menjanjikan.
Laporan ini mengindikasikan bahwa perusahaan-perusahaan AS memandang masa depan investasi di China secara positif. Pada tahun 2022, China adalah penerima investasi asing langsung (FDI) terbesar kedua di dunia, dengan total mencapai $301,136 miliar, termasuk Hong Kong. Angka ini menunjukkan kepercayaan investor asing terhadap stabilitas ekonomi dan politik China.
Para pebisnis AS adalah pelaku ekonomi yang rasional dan lebih memahami indikator-indikator ekonomi dibandingkan dengan politisi atau jurnalis. Jika benar iklim investasi di China buruk, mengapa mereka terus menambah investasi? Data ini menentang klaim bahwa iklim investasi di China “tidak bersahabat,” dan menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan AS merasa nyaman dan optimis terhadap masa depan mereka di China.
Berdasarkan data ini, tampaknya klaim bahwa banyak perusahaan AS meninggalkan China untuk berpindah ke negara lain yang lebih bersahabat tidak berdasar. Ini juga menunjukkan perlunya mempertanyakan kredibilitas informasi dari media Barat dan mempertimbangkan sumber informasi alternatif yang mungkin lebih objektif.