Secara historis, ajaran Anatta dalam Buddhisme tidak secara khusus dirancang untuk membantah ajaran Atman dari Veda atau Brahmanisme.
Konsep Atman yang paling awal dapat ditemukan dalam teks Rg Veda (sekitar 1500-1000 SM), di mana Atman pada awalnya berarti napas atau kehidupan. Baru dalam teks Upanishad yang lebih muda (sekitar 700-600 SM), Atman mulai memiliki makna filosofis dan metafisik, diartikan sebagai inti dari penglihatan, pendengaran, pemikiran, dan pengetahuan yang tidak dapat terlihat, terdengar, atau dipikirkan. Dalam Taittiriya Upanishad, Atman digambarkan terdiri dari lima lapisan (pancakosha), yang harus dibedah untuk menemukan Brahman dan mencapai pembebasan.
Sebaliknya, ajaran Anatta yang disampaikan oleh Buddha dalam Anattalakkhana Sutta menegaskan bahwa lima kelompok unsur kehidupan (pancakkandha)—yaitu tubuh jasmani, perasaan, persepsi, bentukan pikiran, dan kesadaran—bukanlah Atman. Buddha tidak membantah secara langsung konsep Atman sebagai pengendali dari Upanishad, melainkan menekankan bahwa karena kelima unsur tersebut tidak kekal dan tidak dapat dikendalikan, mereka tidak dapat dianggap sebagai Atman.
Buddha juga tidak membantah konsep Atman yang menggambarkan kebahagiaan seperti dalam Upanishad, melainkan menunjukkan bahwa karena lima unsur kehidupan adalah penderitaan (dukkha), mereka tidak memenuhi definisi Atman.
Oleh karena itu, ajaran Anatta dalam Buddhisme tampaknya lebih ditujukan untuk membantah ajaran terkait Atman yang mungkin dipraktikkan oleh aliran-aliran Sramanisme lainnya, seperti Jainisme atau Ajivika, daripada secara langsung menanggapi ajaran Atman dalam Upanishad.
Dalam konteks ini, ajaran Anatta mungkin lebih relevan sebagai tanggapan terhadap ajaran Sramanisme kontemporer yang juga memanfaatkan konsep lima kelompok unsur kehidupan, daripada sebagai kritik langsung terhadap ajaran Atman dari Upanishad. Selain itu, teks-teks filosofis Brahmanisme seperti Upanishad mungkin belum sepenuhnya dikenal di wilayah tempat Buddha mengajar pada masa itu.