Pertanyaan yang menarik!
Sebelum menjawab pertanyaan, akan saya bahas sedikit mengenai fenomena campur bahasa dari sudut pandang linguistik. Dalam sosiolinguistik, terdapat istilah campur kode, yang artinya adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Yang termasuk di dalamnya adalah pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dsb. Selain itu, terdapat juga istilah alih kode yang berarti peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa. Biasanya, campur bahasa yang sering terjadi di masyarakat kita merupakan campur kode, dimana satu kalimat atau klausa bisa terdiri dari bahasa Indonesia dan bahasa asing. Campur bahasa yang sering terjadi, misalnya sering terdapat pada daerah Jakarta Selatan, dan oleh linguis kadang disebut sebagai bahasa gado-gado.
Setahu saya, bahasa Singlish dan Taglish itu bisa dikategorikan sebagai alih kode. Sebab secara nasional, mereka adalah bangsa multilingual. Tidak hanya menggunakan bahasa nasionalnya, tetapi penggunaan bahasa Inggris pun digunakan secara dominan. Sedangkan di Indonesia, kita adalah bangsa yang berbahasa satu, bahasa Indonesia. Walau bagi beberapa individu bisa saja melakukan alih kode, misalnya pada orang yang ibunya berasal dari Amerika, ayahnya berasal dari Indonesia, dan di masa kecilnya ia tumbuh sebagai bilingual. Terjadinya campur bahasa yang sering kita temui sebagian besar adalah campur kode. Dan menurut blog yang saya temui, fenomena campur kode ini berhubungan dengan karakteristik penutur; seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan dsb. Selain itu, biasanya campur kode terjadi pada situasi yang santai atau informal.
Nah, kenapa di Indonesia, fenomena tersebut sering diejek? Terdapat tiga poin yang menurut saya menjadi alasan yang mendukung:
- Fenomena Over-Pride. Pasti Anda sudah tahu bahwa di masyarakat Indonesia sering terjadi fenomena over-pride ketika bersangkutan dengan budaya milik Indonesia saat berada dalam ranah internasional. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan bahwa orang-orang yang mengejek fenomena ini, juga mengalami over-pride terhadap bahasa nasionalnya sendiri. Saya rasa hal ini pernah diawali dari pemikiran seseorang yang berpendapat bahwa penggunaan bahasa gado-gado ini merusak identitas bahasa nasional kita. Dan bagi beberapa akademis dan linguis pun, mereka berpendapat demikian.
- Selain merusak, bahasa gado-gado ini juga dianggap tidak sesuai dengan kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Bagi beberapa orang, mencampurkan bahasa asing dengan bahasa Indonesia itu “salah”. Memang benar, secara kaidah, itu kurang tepat. Tapi harus diketahui, bahwa dalam linguistik, segala fenomena bahasa yang terjadi dalam masyarakat itu tidak ada yang salah atau benar, walaupun menurut kaidah itu adalah salah. Seluruh aspek dari fenomena tersebut adalah alami dan itulah tugas linguis untuk meneliti dan kemudian melakukan penyesuaian-penyesuaian khusus terhadap bahasa Indonesia. Selain itu, apabila orang yang menggunakan campur bahasa ini berkomunikasi dalam situasi informal, sesungguhnya tidak masalah.
- Mempertahankan kemurnian bahasa Indonesia. Usaha untuk mempertahankan bahasa Indonesia agar tidak dicampur-campuri dengan bahasa asing juga mulai dilakukan oleh berbagai macam media digital, terutama yang muncul sekitar 2010-an. Seperti Kumparan, Tirto, RemoTivi, dsb. Dan memang, bagi linguistik, media berita dalam bentuk apapun, baik cetak atau digital adalah gerbang utama yang berperan untuk ‘mengedukasi’ masyarakat tentang bahasa nasional kita. Mereka adalah agen bahasa. Sebagai contoh, ketika kata gadget sering digunakan di khalayak, katakanlah Badan Bahasa mengeluarkan pernyataan bahwa ada kosa kata bahasa Indonesia yang bisa digunakan untuk mengganti ‘gadget’, yaitu gawai. Dan siapa yang bertugas menyebarkan informasi ini kepada masyarakat? Media berita. Disebar secara langsung bahwa gadget itu gawai, atau tidak langsung dengan menyisipkan penggunaan kata gawai dalam artikel-artikel mereka.
Tiga alasan tersebut lah yang membuat masyarakat Indonesia merasa campur bahasa itu ‘kurang benar’ atau ‘kurang enak didengar’. Dan akhirnya ada individu-individu yang merasa ‘paling benar’ dan mengingatkan orang lain dengan cara kurang tepat, mengejek.
Nah, kesimpulan dari saya, sebenarnya tidak perlu ejek-mengejek. Apalagi kalau dalam ranah informal. Tidak masalah ketika seseorang melakukan bahasa gado-gado, bisa jadi itu adalah salah satu identitas individu tersebut. Atau si pemakai memang tidak mengetahui kosa kata tertentu dalam bahasa Indoensia. Tapi tidak masalah juga apabila ada sebagian orang yang merasa ingin memberi koreksi, memberi pengetahuan agar bahasa asli kita bisa lebih sering dipakai dan akhirnya tidak terlupakan.
Mungkin itu adalah tren di ibukota, jadi tidak mewakili seluruh Indonesia. Mencampur kata dalam bahasa asing sewaktu berbicara bukanlah hal yang tidak wajar. Dalam studi linguistik, ini disebut code-switching. Ada banyak hal “baru” yang tidak memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia, sehingga orang-orang menggunakan nama dari bahasa aslinya. Bisa juga orang-orang lebih mudah mengingat atau merasa lebih pantas mengucapkan nama dari bahasa aslinya dikarenakan ia memang adalah hal asing. Selain itu, di zaman globalisasi ini banyak orang yang belajar bahasa asing, jadi wajar saja kalau lupa suatu kata dalam bahasa sendiri tapi mengingatnya dalam bahasa asing.