Coba Rectoverso dengan asumsi orang yang tertarik membaca karya Dee Lestari ingin mendalami sastra. Novel ini memiliki diksi yang jarang digunakan penulis lain.

Buku ini merupakan kumpulan cerita cinta yang tidak tersampaikan dengan cerita-cerita yang pasti hampir semua orang pernah merasakan. ada cerita tokoh yang selalu ada untuk menemani sahabatnya yang terus saja mengulangi kisah patah hatinya. Cerita semacam ini selalu membawa karakter yang entah kenapa tidak peka dengan perasaan sahabatnya sendiri. Kepedulian yang ditunjukkan sahabatnya diduga atas nama persahabatan mereka. Namun, tentu saja Friendzone di tangan Dee Lestari diceritakan in another level.

1. Peter Pan karya J M Barrie

Mengisahkan Peter-pan yang mengajak Wendy untuk tetap di dunia neverland meninggalkan keluarganya dan tetap bersamanya terjebak di dalam negeri dongeng untuk menjadi anak-anak selamanya.

Great Expectations-Harapan Besar karya Charles Dickens

Mengisahkan soal Pip. Pip menjadi narator untuk kisahnya sendiri dari ia berumur enam tahun hingga ia dewasa. Dari ia miskin menjadi kaya. Dari ia kelas rendahan menjadi kelas yang dihormati. Ia pindah ke London setelah menerima warisan besar entah dari siapa. Stella, Miss Havisham, keluarga Pip yang ganjil, warisan, harapan besar. Hingga … Pip menyadari bahwa harta bukanlah segalanya.

The Monstrumologist karya Rick Yance

Novel fantasi ini memiliki cerita yang gelap, bercerita soal William James Henry yang menjadi asisten seorang peneliti monster bernama DR Pellinore Warthrop. Novel ini memiliki 4 series yatu The Monstrumologist, The Curse of Wendigo, The Isle of Blood dan The Final Descent.

The Hunger Games 

Novel ini bergenre sci-fi dan lebih soal kritik sosial pada tatanan masyarakat kelas atas terhadap kelas bawah

Setau saya, penulis novel Haruki Murakami dalam sebuah wawancara dengan majalah The Paris Review menjelaskan bahwa seringkali dia tidak mengetahui  jalan ceritanya.

“Saya sendiri ketika pertama menulis tidak tahu siapa (karakter) yang melakukan apa. Saya dan pembaca selalu berada di halaman yang sama. Sewaktu saya mulai menulis cerita, saya sama sekali tidak tahu bagaimana kesimpulannya nanti, saya bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Kalau ada misteri pembunuhan di dalam cerita saya, saya pasti belum tahu siapa pelakunya. Justru saya menulis karena saya ingin menemukannya. Kalau dari awal saya sudah tahu siapa pembunuhnya, maka tak ada gunanya lagi saya menulis.”

Ketika menulis novel Dance Dance Dance Murakai baru mengetahui siapa pembunuhnya begitu mencapai 2/3 cerita.  Baru setelah itu dia merevisi struktrur ceritanya. Pada novel The Wind Up Bird Chronicle  idenya dimulai dari sebuah gambaran sederhana tentang seorang pria yang sedang memasak spageti di dapur lalu telepon di rumahnya berdering. Gambaran itu lalu menuntunnya menulis cerita sepanjang 700 halaman lebih.

Bagi Murakami proses menulis itu diumpamakan seperti bermimpi dalam keadaan terjaga. Jadi ia menelusuri mimpinya itu dalam keadaan sadar tanpa harus tahu bagaimana ujung atau kesimpulan dari mimpinya tersebut. Ia selalu merasa bahwa ceritalah yang membimbingnya menulis, bukan sebaliknya.

Tapi sepertinya lebih baik bagi penulis memang tidak menetapkan alurnya supaya emosi pembaca bisa dimainkan. Karena kalau sudah tau alurnya biasanya karya akan menjadi membosankan.