Terimakasih Sumie!

Alasan orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah internasional yang mahal, ya? Sepertinya, mahal adalah alasan yang lebih dari cukup. Yang penting mahal, logika mah lewat, ngapain pusing. Mahal? Oke, gw bayar! Yang lain, let the money does it job.

Rasanya saya ingin sekali menjawab seperti itu, tapi itu tadi hanya kebetulan kucing saya sibuk maen coro beralaskan smartphone bapaknya.

Bila saya jadi orang tua, kira-kira begini saya akan berpikir: saya kaya, uang banyak, investasi aman, usaha bagus lah, kecuali negara saya perang.. Anak sekolah mana ni? Harus yang bagus dan bonafid, demi anak. Browsing lah, buka Quora, googling cari insight (sebetulnya dari kemarin sudah banyak teman-teman yang kebetulan kaya juga, merekomendasikan sekolah A, I, U, E, O, yang semua adalah international school). Kemudian memutuskanlah sekolah di sekolah A, dengan alasan:

1. Kurikulumnya bagus, standar Internasional. Ada pantauan tenaga ahli di sekolah, dari psikolog sampai dokter. Mantap.
2. Penampakan gedung, apik. Sama kurang lebih dengan di rumah, si Boy ga akan bingung ni kalau mau ini itu. Ada asramanya, tapi ngga ah, yang bisa pulang aja.
3. Sarana olahraga, lengkap, ekskul olahraganya, sepak bola, tenis, futsal, badminton, golf, polo, renang, dll, banyak juga dan representatif, wiiih, pelatihnya bule dari Luxembourg.
4. Ada choir dan musik juga, cocok si Boy.
5. Ada program entrepreneur. Pas banget.
6. Reputasi sekolah keren. Ternyta sudah ada duluan di sono, 70 tahun yang lalu. Ada testimoni juga, hmmm.. Anak artis, pejabat, ekspat, eh ada si anu, anak politisi. Sip sip. Ngga kan mereka ngibul?
7. Ada kantin dan ruang makan, canggih bersih, yang masak chef, pake ahli gizi.
8. Guru-gurunya sepertinya mantap, paling kecil S2, yang ngajar fisikanya PhD!
9. Keamanan bagus, gerbang dan pagar sip, pos satpam, satpam, CCTV, pass card, ya ya ya..
10. Boy mana ya, mau ngga dia? Booooy… Sini nak. (Setelah ngobrol lama, intinya Boy mau dan setuju).
11. Boy tanya, “sudah kasih tau Mami, Pi?” “Mana Mami-mu?” “Lah, lupa Pi? Barusan Papi anter ke bandara kan, pulang ke rumah opah di Arnhem.” “Woo iya, le, lali e Papi”.

Suka tidak suka, mungkin itulah yang terjadi. Iya uang tidak bisa membeli kebahagiaan, uang tidak otomatis membuat kita jadi berkelas, sebanyak apapun pasti akan kita tinggalkan, tapi dalam hal tertentu dewasa ini (sebagian besar), dengan sejumlah tertentu uang yang dimanfaatkan dengan cantik; saya, anda, kita dapat memperoleh sesuatu yang lebih.

Dari nilai mahalnya (uang), sektor pendidikan, keamanan, investasi, koneksi, adalah hal yang bagi banyak kita, adalah worth it untuk “membuang” si uang itu.

Sekian, terimakasih telah membaca.