Ketika mendengar istriku merasa putus asa dan merasa hanya menjadi beban, setelah melihat aku membersihkan kotoran faeces dari anus buatan di perutnya.
Malam ini, aku tidur di lantai rumah sakit yang dingin untuk kali ke-12, tepat di sebelah tempat tidur istriku. Aku menggunakan yoga mat dan sleeping bag sebagai alas tidur. Kamar ini dipartisi, sehingga terdapat dua tempat tidur pasien di satu kamar, yang membuat kita sulit tidur karena terdengar rintihan kesakitan pasien di sebelah.
Sekitar dua minggu yang lalu, istriku tidak bisa mencerna makanan sama sekali. Setiap kali makan atau minum, semuanya selalu muntah, bahkan muntah cairan hijau. Setelah beberapa kali masuk dan keluar IGD, akhirnya dokter memberitahukan bahwa ada sumbatan oleh massa kanker di dua tempat dalam sistem pencernaan.
Sumbatan pertama terjadi setelah lambung, yang memblokir usus, dan sumbatan kedua terjadi di alur BAB menuju anus. Operasi diperlukan untuk melewati usus dan kemudian mengeluarkan usus besar ke perut, sehingga kotoran/faeces BAB dapat keluar dan ditampung di kantong colostomy bag.
Setelah menjalani operasi, istriku tidak pernah bisa kutinggalkan sejenak pun. Kondisinya sangat tidak menentu, tiba-tiba saja dia bisa merasakan sakit. Dan saat dia merasakan sakit, dia selalu mencari tanganku untuk diremas (itu yang bisa kulakukan untuk meringankan rasa sakitnya). Sejak tahun lalu, dia telah berjuang melawan kanker serviks.
Setelah operasi, radiasi, dan kemoterapi tahun lalu, kanker ini sempat menghilang, namun beberapa bulan yang lalu kanker tersebut kembali muncul, bahkan naik ke stadium yang lebih tinggi. Baru-baru ini dokter mengatakan bahwa kanker ini sudah mencapai stadium 4. Kanker ini telah menyebar ke organ lain, menyebabkan gagal ginjal pada istriku 3 bulan yang lalu, sehingga urine harus dialirkan melalui saluran eksternal dari ginjal ke kantong.
Kami telah sepenuhnya menerima dan menerima situasi ini. Menurut pandangan kami berdua, kematian adalah perjalanan yang indah menuju kesatuan dengan semesta, bersatu dengan keesaan.
Namun, dalam penderitaan yang intens dan perjuangan yang panjang melawan kanker, semua aspek fisik, mental, dan spiritual terombang-ambing seperti roller coaster.
Dulu, istriku dijuluki “badak” karena dia bisa hiking di gunung selama berhari-hari. Dia juga sangat bersemangat dan energik dalam membawa pendidikan ke daerah-daerah terpencil seperti di bagian Timur Indonesia. Dia membangun identitasnya sebagai seseorang yang harus berguna bagi banyak orang.
Sekarang, ketika dia harus bergantung pada orang lain untuk hal-hal dasar seperti membersihkan kotoran BAB, dia merasa terpukul. Ketika aku membersihkan kotoran BAB malam itu, dia mengucapkan kata-kata putus asa seperti ini: “Sekarang aku menjadi beban bagi orang-orang tercinta di sekitarku. Aku berdoa agar aku segera meninggalkan tubuh ini dan kembali ke cahaya, kembali ke keesaan.”
Aku menghentikan apa yang sedang kulakukan. Ketika aku melihat wajahnya dan matanya dengan dalam, tangan kami saling menggenggam erat. Kemudian, saat aku mencium keningnya yang hangat, air mata sudah menggenang di mataku. Aku membiarkan beberapa butiran air mata mengalir. Di dalamnya terdapat kesedihan, harapan yang banyak, dan yang paling penting, rasa cinta yang melimpah atas pengalaman hidup yang indah di usia kami yang baru saja mencapai kepala 5 ini. Seperti bumbu sop, semua perasaan ini bercampur aduk dalam setiap butiran air mata yang jatuh.
Aku menyadari dan merasakan semua perasaan ini sepenuhnya, tanpa menolak kehadirannya. Emosi yang datang seperti awan gelap yang membawa hujan badai. Ia datang bergulung-gulung dan menutupi sinar matahari yang cerah. Kemudian hujan deras turun, bersamaan dengan air mata yang mengalir dari kami berdua. Badai itu membersihkan hati kita dari kesedihan.
Yang tersisa hanyalah rasa syukur atas cinta yang ada. Karena energi yang paling kuat dan tak pernah habis untuk menghadapi situasi sulit dalam hidup adalah energi cinta kasih, yang kami percaya sebagai pemberian dari semesta, dari Yang Maha Kuasa.
Setelah itu, kami membawa perasaan ini ke dalam meditasi kami bersama. Dalam keheningan, kami juga menyadari kembali tentang melepaskan identitas. Bahwa citra diri, predikat, dan apa yang kita pikirkan tentang diri kita tidaklah penting. Dengan mengosongkan pikiran dari keterikatan, kita dapat lebih damai dalam menghadapi segala situasi. Ini juga merupakan pelajaran bahwa pengalaman hidup ini adalah perjalanan yang akan kita jalani dengan penuh penerimaan dan pengakuan.
Saya juga memberitahu istri saya bahwa membersihkan BAB yang berbau dari anus buatan di perut bukanlah tugas yang hina, malah bagi saya itu adalah peran yang sangat berarti sebagai seorang suami dan pendamping, suatu keistimewaan bagi saya.
Seperti Yin-Yang, di dalam kegelapan ada cahaya, di dalam cahaya ada kegelapan. Di tengah situasi sulit ini, justru tercipta momen-momen kebersamaan yang unik dan tidak akan ditemukan oleh pasangan lain. Momen seperti menunggu dia sadar dari ruang operasi, momen membersihkan BAB dari anus buatan, justru momen-momen seperti itu yang ironisnya memunculkan rasa cinta dan kasih sayang untuk menjalani kehidupan ke depan. Dan hanya dengan itu, hari-hari kami telah dipenuhi dengan rasa syukur yang melimpah, rasa terima kasih yang mendalam. Ketika kita hidup dalam rasa syukur, rasa terima kasih ini tidak dapat hidup bersamaan dengan energi negatif lainnya seperti rasa kekurangan, rasa menjadi korban, rasa ketakutan, dan sebagainya.