Belum pernah, karena semua barang yang saya beli berdasarkan fungsi dan kualitasnya, bukan karena ingin tampil bergaya atau fashionable. Misalnya, saya pernah mencoba membeli dompet Louis Vuitton yang harganya sekitar 8 juta untuk yang baru dan 4 juta untuk yang bekas. Setelah saya coba, ternyata dompet tersebut tidak muat untuk duit dan kartu-kartu saya, jadi saya merasa dompet Hush Puppies saya yang baru jauh lebih nyaman. Begitu pula dengan sepatu Louis Vuitton bekas seharga 15 juta yang ternyata tidak nyaman, sementara sepatu Clarks saya jauh lebih nyaman.
Saya juga bertanya-tanya mengapa orang-orang membeli barang-barang mahal seperti LV. Kacamata dan baju mahal saya hanya beli untuk kenyamanan, bukan untuk menunjukkan status. Jas Calvin Klein yang saya pakai saat promosi doktor dan yudisium, misalnya, dibeli oleh orang tua saya untuk keperluan acara.
Kadang saya membeli barang untuk menghilangkan rasa penasaran, seperti jam tangan Tag Heuer yang saya beli bekas setelah sering melihat iklannya waktu SMA. Begitu juga dengan anjing dan drum yang saya beli bekas sebagai bentuk balas dendam masa muda. Laptop MacBook Pro bekas tahun 2016 yang saya pakai sekarang masih berfungsi baik, sedangkan laptop HP baru yang pernah saya beli cepat rusak. Saya jarang membeli barang baru dan lebih memilih barang bekas jika barang tersebut tidak digunakan untuk menghasilkan uang.
Di rumah saya tidak ada koleksi lukisan atau barang seni mahal karena saya percaya harga barang branded sering kali lebih untuk kepuasan ego daripada kenyamanan. Saya hanya membeli barang baru jika itu untuk tujuan menghasilkan uang, seperti semen, pasir, atau komputer di kasir. Jika tidak, saya lebih memilih barang bekas.
Belum pernah, karena semua barang yang saya beli berdasarkan fungsi dan kualitasnya, bukan karena ingin tampil bergaya atau fashionable. Misalnya, saya pernah mencoba membeli dompet Louis Vuitton yang harganya sekitar 8 juta untuk yang baru dan 4 juta untuk yang bekas. Setelah saya coba, ternyata dompet tersebut tidak muat untuk duit dan kartu-kartu saya, jadi saya merasa dompet Hush Puppies saya yang baru jauh lebih nyaman. Begitu pula dengan sepatu Louis Vuitton bekas seharga 15 juta yang ternyata tidak nyaman, sementara sepatu Clarks saya jauh lebih nyaman.
Saya juga bertanya-tanya mengapa orang-orang membeli barang-barang mahal seperti LV. Kacamata dan baju mahal saya hanya beli untuk kenyamanan, bukan untuk menunjukkan status. Jas Calvin Klein yang saya pakai saat promosi doktor dan yudisium, misalnya, dibeli oleh orang tua saya untuk keperluan acara.
Kadang saya membeli barang untuk menghilangkan rasa penasaran, seperti jam tangan Tag Heuer yang saya beli bekas setelah sering melihat iklannya waktu SMA. Begitu juga dengan anjing dan drum yang saya beli bekas sebagai bentuk balas dendam masa muda. Laptop MacBook Pro bekas tahun 2016 yang saya pakai sekarang masih berfungsi baik, sedangkan laptop HP baru yang pernah saya beli cepat rusak. Saya jarang membeli barang baru dan lebih memilih barang bekas jika barang tersebut tidak digunakan untuk menghasilkan uang.
Di rumah saya tidak ada koleksi lukisan atau barang seni mahal karena saya percaya harga barang branded sering kali lebih untuk kepuasan ego daripada kenyamanan. Saya hanya membeli barang baru jika itu untuk tujuan menghasilkan uang, seperti semen, pasir, atau komputer di kasir. Jika tidak, saya lebih memilih barang bekas.
Ini dompetnya. Uang dan kartu saya tidak muat dengan nyaman di dalamnya. Saya ingin memilikinya untuk merasakan gaya fashionable, tetapi fungsinya ternyata sangat kurang.