Saya ingat betul suatu kejadian lucu beberapa tahun yang lalu saat perusahaan kami mengadakan Job Fair di salah satu kampus PTN terkenal. Job Fair ini ternyata bisa diikuti oleh para alumni PTN tersebut.
Karena begitu banyaknya pelamar yang datang untuk walk in interview, kami terpaksa membagi tim HR yang terdiri dari 12 orang menjadi 6 tim dan menempati 6 ruangan interview yang berbeda. Melihat tim yang sudah bekerja keras dan kewalahan, saya merasa kasihan dan akhirnya memutuskan untuk menjadi interviewer juga. Tiba-tiba salah satu anggota tim berkata:
“Bukan tugas Bapak, jangan wawancara entry level, Pak”
Saya hanya tersenyum dan mengulurkan tangan untuk meminta CV dari kandidat yang akan saya wawancara. Saya mendapatkan total 12 amplop CV yang harus saya wawancara. Kami memanggil satu per satu kandidat tersebut. Wawancara berjalan dengan lancar. Namun, pada suatu saat, ada pengalaman wawancara yang menarik.
Seorang kandidat masuk ke dalam ruangan. Seorang pria berusia 22 tahun dengan penampilan yang rapi. Tanpa senyum, dia langsung duduk di kursi. Jujur, saya merasa tidak nyaman. Dalam wawancara, ada yang disebut personal branding. Sebagai HR, ketika kami berada di dalam ruangan, kami akan berdiri sambil menunggu kandidat masuk dan kemudian berjabat tangan sambil berkenalan. Setelah itu, kami mempersilakan kandidat untuk duduk. Namun, yang terjadi sebaliknya, saat saya berdiri, kandidat malah langsung duduk. Momen yang canggung.
Saya memulai percakapan dengan memperkenalkan diri. Saya meminta kandidat untuk memperkenalkan dirinya.
Kemudian, kandidat mulai memperkenalkan diri dan menceritakan kelebihannya tanpa saya minta. Saya membiarkannya saja. Dia bercerita tentang lulusan dari universitas ternama, IPK yang mendekati summa cumlaude, memiliki berbagai keterampilan dan kompetensi, serta banyak kelebihan lainnya. Saya diam dan mendengarkannya dengan baik.
Saya jujur tertarik dengan kandidat seperti ini, sampai-sampai saya menanyakan latar belakang keluarganya. Dia mengatakan bahwa ayahnya adalah General Manager di perusahaan ternama dan ibunya adalah direktur di salah satu bank swasta. Dia berasal dari keluarga yang sangat mapan secara finansial.
Ketika saya bertanya mengapa kamu bekerja, dia menjawab bahwa itu adalah sarana untuk mengaktualisasikan diri. Saya bisa menerima alasan tersebut. Namun, ketika saya menanyakan berapa gaji yang kamu harapkan jika kamu diterima sebagai posisi Data Analyst?
“Dua belas juta, Pak!” jawabnya dengan percaya diri.
Sebenarnya, saya tidak masalah jika kandidat menjawab dengan angka apa pun. Itu adalah hal yang wajar ketika ditanya mengenai ekspektasi.
Saya diam sejenak, kemudian membuka laptop dan berkata,
“Kemampuan excel kamu di CV terlihat sangat baik, ya. Bolehkah kamu menyelesaikan soal excel ini? Seharusnya hanya butuh waktu 10 menit. Saya akan menunggu.” Saya memberikan laptop kepada kandidat.
Kandidat mulai mengoperasikan excel tersebut. Setelah 10 menit, saya bertanya,
“Sudah selesai?”
Kandidat menggelengkan kepala, lalu saya meminta kembali laptop saya. Dan ternyata kosong! Kandidat tidak dapat menyelesaikan masalah sederhana menggunakan rumus V LOOK UP yang sebenarnya bisa diselesaikan dalam waktu 3 menit.
Saya kemudian berkata kepada kandidat:
“Maaf sebelumnya, boleh saya memberikan sedikit masukan untukmu? Kamu adalah seorang kandidat yang memiliki potensi besar, lulusan dari kampus terbaik dengan IPK yang sangat baik. Namun, jujur saja, perilaku kamu menunjukkan hal yang sebaliknya. Kamu terlalu sombong dan lupa bahwa masih banyak hal yang perlu kamu tingkatkan. Kamu boleh memiliki pandangan yang tinggi tentang dirimu sendiri, tapi jangan lupakan fakta-faktanya. Personal branding kamu juga perlu diperbaiki, cobalah untuk lebih rendah hati dan menghargai orang lain. Jika kamu tetap seperti ini, akan sulit bagi perusahaan untuk menerima kamu.”
Saya mengatakan hal tersebut dengan tegas kepada kandidat. Setelah itu, saya memberikan kartu nama saya dan berkata:
“Salam untuk Bapakmu ya, namanya xxxxxx kan?”
Kandidat terkejut mendengar pernyataan saya.
“Bilang salam dari Yanuar dari PT xx, pasti dia mengenal saya. Bapakmu pernah melakukan pertemuan makan siang dengan saya, dia adalah vendor pengadaan sistem IT untuk perusahaan kami.”
Kandidat terdiam dan meminta maaf jika ada kesalahan yang telah dilakukan. Saya hanya tersenyum.
Sebenarnya, tidak hanya pendidikan dan kampus yang menjadi faktor utama dalam penerimaan pekerjaan, tetapi karakter juga sangat penting. Jangan sampai karakter buruk mengakibatkan stigma:
“Sarjana Kok Gitu?” Itu pasti membuatmu merasa tidak nyaman, bukan?