Sebagai seorang mantan pemain IT dan programmer pemrosesan data, saya pernah membayangkan bahwa suatu hari nanti AI akan mampu mereplikasi segalanya. Namun, jika kita mempertimbangkan tentang kehidupan, kesadaran, dan realitas, maka jelas bahwa AI bukanlah salah satu dari itu, bahkan tidak ada satupun dari ketiganya. Apa yang ditampilkan atau disuguhkan oleh AI hanyalah ilusi dari sistem komputasi yang membandingkan data-data acuan. Semua hasil yang ditampilkan hanyalah nilai pendekatan yang kaku, tidak toleran, dan terpola. Kesadaran manusia terkadang memiliki keterbatasan dalam hal konsistensi dan kemampuan memilih data acuan dengan cepat, namun manusia memiliki toleransi dan opsi probabilitas yang tak terbatas. Selain itu, manusia juga memiliki kesadaran, emosi, serta acuan dinamis dari naluri, nurani, dan intuisi yang tidak akan pernah bisa direplikasi oleh mesin.
Pola analogi berfikir dan pengambilan keputusan manusia memang tidak sempurna atau tanpa kekurangan, bahkan dalam tugas dan pemecahan masalah untuk menemukan solusi tertentu, manusia jauh di bawah kemampuan AI. Hal ini terjadi karena kelebihan dan toleransi terkait aspek-aspek non-logis yang sering kali mempengaruhi pemikiran manusia, sehingga membuatnya tidak efektif dalam menangani tugas-tugas spesifik. Meskipun ada upaya untuk memanfaatkan otak manusia dalam kehidupan biologisnya, namun tidak mungkin untuk mentransfer aspek kemanusiaan ke dalam mesin selama jiwa dan kesadaran spiritual manusia tidak dapat ada di sana.
Apa yang dimiliki manusia dan belum mampu difahami secara utuh bahkan oleh para jenius dunia, adalah pikiran alam bawah sadar (subconscious) yang terkait namun terletak di luar kesadaran biologis dan mampu merekam segala peristiwa kehidupan menyeberangi beberapa masa reinkarnasi dalam tubuh dan otak yang berbeda. Kesadaran manusia mencakup aspek kejiwaan, spiritual, dan sensasi hidup yang terkait pada segala hal yang tak pernah pasti dan memungkinkan munculnya paradoks, non-logis, dan kerancuan pikiran yang tak akan pernah bisa dibenamkan sebagai program berfikir mesin. Cinta-kasih, empati, dan menahan diri bahkan menyerah hampir tak mungkin dimiliki oleh yang tidak hidup.
Tidak akan lama lagi, kita harus memilih untuk memutuskan, hal-hal mana yang patut, atau tak bisa diserahkan penanganannya oleh Otak Buatan tanpa jiwa dan perasaan ini. Karena apapun yang buatan sampai kapanpun bukanlah realitas yang bisa direplikasi. Jadi yang tak akan bisa tergantikan oleh kecerdasan buatan adalah “manusia yang seutuhnya”.