Berikut parafrase dari tulisan kamu:
—
Beberapa waktu lalu, seorang teman mengaku bahwa ia menggunakan uang yang kuberikan sebagai modal untuk melunasi hutangnya. Aku benar-benar terkejut dan merasa dikhianati. Uang tersebut cukup signifikan bagiku, mencapai puluhan ribu dolar AUD, hampir sebesar biaya kuliah putriku. Meskipun teman ini berjanji untuk bertanggung jawab, aku ragu melihat kondisi keuangannya.
Aku menghabiskan beberapa hari untuk merenung dan menenangkan diri dari amarah dan kekecewaan yang menguasai batin. Aku ingin membagikan beberapa pembelajaran yang kuambil dari pengalaman ini.
Ketika aku memutuskan untuk membantu teman tersebut dengan modal, apa yang mendorongku? Ada rasa kasihan yang membuatku berharap modal ini bisa membantu dia menjadi mandiri, serta ketertarikan pada laporan bisnisnya yang menunjukkan hasil positif di awal (meskipun itu hanya sementara). Aku belum benar-benar memeriksa data bisnisnya, jadi ini adalah pelajaran mahal tentang kebodohan dan kelalaianku.
Dalam diskusi dengan seorang sahabat setelah kejadian ini, aku ditanya bagaimana perasaanku jika aku sudah kehilangan uang tersebut, dan apakah kebutuhan sehari-hariku aman. Aku menjawab bahwa meskipun aku merasa marah dan dikhianati, aku masih cukup aman secara finansial, dan bisa membiayai kuliah putriku.
Ini mengingatkanku bahwa memiliki rasa cukup adalah suatu kemewahan yang tidak semua orang miliki. Rasa cukup memberikan rasa aman bahwa segalanya akan baik-baik saja. Kemarahanku menunjukkan kepemilikan yang salah dan keterikatan emosional. Aku menyadari bahwa uang hanyalah alat, dan aku memiliki banyak alat dalam kehidupanku. Jika salah satu alat hilang atau dipinjam dan tidak dikembalikan, aku harus tetap berusaha untuk mengembalikannya tanpa terlalu fokus pada satu hal itu saja, agar tidak mengganggu pengelolaan alat lainnya dan tugas-tugas yang lebih penting.
Kemarahanku juga merupakan hasil dari pemahamanku yang keliru tentang kepemilikan. Dengan mengingat bahwa semua alat, termasuk uang, hanyalah sarana, aku belajar untuk mengelola seefektif mungkin. Selain itu, aku menyadari pentingnya peran-peran yang aku jalani sebagai ayah, anak, pasangan, dan pemimpin. Aku perlu memastikan bahwa aku menjadi wadah yang baik dalam semua peran tersebut, dan semesta akan mengisi wadah itu.
Musibah ini juga mengajarkanku untuk lebih peka terhadap alur semesta dan melepaskan ego sebagai penolong. Jika semesta memanggilku untuk membantu orang lain, aku akan mengasah kepekaan dalam hal itu. Aku memahami bahwa dunia eksternal adalah cerminan dari mindset-ku. Jika aku memiliki mindset tentang kelimpahan, maka kehilangan uang dari satu sumber bisa jadi akan diimbangi dengan masuknya uang dari sumber lain.
Meskipun proses ini penuh dengan emosi negatif, setelah semuanya, aku merasa bersyukur bahwa aku masih baik-baik saja. Sesuai dengan nilai-nilai pribadiku tentang kedamaian batin, aku semakin diingatkan bahwa kekayaan sejati tidak diukur dari uang dan barang, tetapi dari kelimpahan cinta, kebahagiaan, kedamaian, dan kesejahteraan yang kita ciptakan dalam hidup kita.