Setidaknya vaksin COVID-19 jenis mRNA yang dipakai di dunia saat ini bisa tercatat dalam sejarah manusia sebagai vaksin dengan pengembangan tercepat di dunia.
Tapi sebelumnya saya berikan dulu informasi mengenai alur umum pengembangan sebuah vaksin.
Pada umumnya pengembangan vaksin membutuhkan waktu minimal 10 tahun dengan biaya yang tidak sedikit dan melewati tahap hewan percobaan & tiga tahap percobaan manusia, karena semua tahapan ini harus dilalui satu per satu. Belum lagi ada banyak sekali kandidat vaksin yang gagal di tahap awak sampai pada akhirnya vaksin tersebut memperoleh izin edar dari BPOM setempat atau WHO. Vaksin tercepat yang sejauh ini dibuat adalah vaksin campak/measles dengan masa pengembangan 4 tahun, sedangkan vaksin cacar diproduksi massal 150 tahun setelah penemuan metode vaksin oleh Edward Jenner tahun 1796, vaksin polio 20 tahun, dan vaksin hepatitis B 16 tahun.
Tapi dalam kasus wabah COVID-19 yang membuat dunia sekejap kelimpungan karenanya, para peneliti dan pemangku kepentingan berhasil memperpendek masa penelitian ini dengan cara:
- Data gen virus langsung dibagikan ke seluruh dunia dalam waktu singkat dan secara open source kepada berbagai perusahaan untuk mengembangkan kemungkinan vaksin penangkalnya.
- Melakukan tahap uji klinis di atas secara paralel. Misalnya selagi percobaan vaksin di hewan, mereka juga melakukannya di manusia. Tahap III uji klinis mulai dijalankan dengan merekrut pengguna segera setelah hasil ujicoba tahap II menunjukkan hasil awal yang menjanjikan atau dengan sampel yang sama dengan tahap II plus beberapa orang lainnya.
- Pihak otoritas kesehatan melakukan rolling review. Maksudnya adalah mereka akan segera melakukan proses data segera setelah sedikit informasi mengenai vaksin tersebut masuk sambil ditunggu hingga tuntas, jadi tidak menunggu semua tahapan uji klinis selesai baru minta peninjauan data.
Dan akhirnya tidak sampai setahun setelah WHO menyatakan COVID-19 sebagai pandemi, vaksin mRNA buatan Pfizer/BioNTech & Moderna terbukti mempunyai efikasi yang sangat tinggi (lebih dari 90%) melawan COVID-19 dan bahkan masih sangat bagus melawan varian baru. Dan konon, teknologi vaksin ini akan digunakan untuk melawan sakit kanker.
Vaksin mRNA ini hanya berisi kepingan kecil RNA yang terdiri dari kode pembuat virus SARS-CoV-2 yang dibungkus dengan lemak dan disuntikkan ke tubuh manusia, dan teknologi ini belum pernah ada di seluruh dunia.
The battle continues, tapi ini adalah awal yang baik & mudah-mudahan bisa digunakan untuk pengembangan vaksin penyakit berikutnya.
Catatan Kaki
5 charts that tell the story of vaccines today
How long it took to develop 12 other vaccines in history
Menurut saya, yang paling terkenal merupakan penemuan vaksin Polio oleh Jonas Salk.
Saya jadi teringat orang yang menggunakan iron lung terakhir bernama Paul Alexander yang menulis buku “Three Minutes for a Dog: My Life in an Iron Lung.”
Ia merupakan korban terakhir dari penyakit polio yang saat itu belum ada vaksinnya. Semua orang ketakutan, banyak anak-anak yang meninggal karena polio. Jika terkena polio, orang tersebut bisa menjadi paralyzed seluruh tubuh, paru-paru juga tidak bisa bernafas sendiri sehingga harus menggunakan mesin seumur hidupnya.
Saat vaksin polio ditemukan, satu negara langsung heboh dan semua orang tua bergegas membawa anaknya untuk menerima vaksin polio tersebut.
Penemuan vaksin pertama kali itu oleh Edward Jenner yang menemukan smallpox vaccine. Saat itu, ia sadar bahwa cowpox mempunyai survival rate yang lebih tinggi dibandingkan smallpox dan virus dari cowpox tersebut bisa digunakan sebagai defense mechanism melawan smallpox. Ia sadar bahwa orang yang sudah terkena cowpox tidak bisa kena sakit smallpox dengan kemungkinan mati yang tinggi.
Ada cerita lain yang menarik
Sejarah mengenai perkembangan antibiotik ini sangat menarik. Sebelum ditemukan penicillin, orang biasanya menyembukan Syphillis menggunakan Malaria. Saat itu, kemungkinan mati dari Syphillis sangat tinggi dan belum ada obatnya, lalu tabib-tabib menggunakan Malaria karena penyakit itu bisa menimbulkan demam yang sangat tinggi dan membunuh bakteri treponema pallidum. Kemungkinan mati dari Malaria lebih rendah dibandingkan kemungkinan mati dari Syphillis.