—
Teman saya pernah curhat: “Gue punya kakak yang individualis banget, Mad. Sama saudara sendiri perhitungan, nggak royal, dan pelitnya kebangetan.”
Saya pun bertanya: “Kenapa bisa ngomong begitu, bro?”
Teman menjawab: “Gue mau pinjam uang ke dia, 30 juta. Eh, dia malah mau catat nominal utangnya, pakai saksi, ada jaminan, dan buat surat pernyataan sebagai bukti. Gila, kan? Gue ini adiknya sendiri.”
Saya menjelaskan: “Dalam Islam, aturan adab utang piutang memang begitu, bro.”
Teman terkejut: “Hah! Masa sih, Islam ngajarin orang jadi individualis kaya gitu, Mad?”
Saya tanya lagi: “Dari tadi ngomong soal individualis, sebenarnya artinya apa, bro?”
Teman menjawab: “Ya itu tadi, masak sama saudara sendiri harus ribet pakai saksi segala sampai catat-catat utang. Nggak usah sedetail itu lah.”
Saya jelaskan: “Jangankan utang piutang, urusan warisan yang hukumnya jelas saja sering jadi rebutan dan banyak yang nggak mau ikuti aturan.”
Teman saya mengiyakan: “Iya juga, sih. Tapi gue ini adiknya.”
Saya lanjutkan: “Bahkan orang tua yang menipu anaknya pun ada, bro. Jadi, hubungan darah itu bukan jaminan seseorang akan amanah, apalagi soal uang.”
Teman mengakui: “Bener juga, tapi emang nggak ada cara lain, ya?”
Saya tanya: “Coba jujur, pinjam 30 juta itu murni buat modal usaha atau ada tujuan lain?”
Dia mengaku: “Ya, buat modal paling 18 juta, sisanya buat bayar ini-itu.”
Saya tanggapi: “Nah, dari awal udah ada tanda-tanda nggak jujur. Gimana kalau utangnya nggak ada perjanjian tertulis? Dari tadi bilang kakaknya individualis, ternyata kamu sendiri oportunis.”
Teman saya beralasan: “Gimana lagi, namanya juga kepepet, Mad.”
Saya ingatkan: “Kepepet bukan alasan buat nipu orang lain, apalagi saudara sendiri. Berhenti playing victim, ya. Nanti bisa bahaya kalau jadi kebiasaan.”
Dia berterima kasih: “Iya, Mad, makasih udah ngingetin.”
Saya saranin: “Datang aja setiap Rabu jam 20.00–21.30 ke kajian fikih muamalah di masjid komplek. Kita bisa belajar bareng, kamu juga bisa nanya langsung ke ustadz soal utang piutang dan bisnis.”
Teman saya setuju: “Siap, Mad.”
—
Dari obrolan ini, saya mendapat sudut pandang baru. Ternyata banyak yang belum memahami adab utang piutang. Islam mengatur hal-hal detail seperti itu bukan tanpa alasan, karena ada saja orang yang lupa saat bayar utang atau merasa rugi ketika diminta melunasinya.
https://id.quora.com/Apa-beban-terberat-menjadi-seorang-laki-laki/answer/Ahmad-201