Menurut pengalaman saya, saya sadar bahwa saya berasal dari keluarga miskin, sehingga saya tidak berani mendekati urusan cinta. Saya hanya berani mendekati ketika ada urusan organisasi.
Saya memiliki sedikit cerita, saat saya masih sekolah, saya pernah menjadi ketua OSIS dan bergabung dengan ketua OSIS se-kota Bandung yang bernama FOKUS (Forum Komunikasi Siswa). Di dalamnya terdapat siswa-siswi unggulan dari sekolah ternama di kota Bandung, sedangkan saya? Saya sekolah di sekolah gratis dari program pemerintah. Saya mungkin terpilih karena latar belakang pendidikan saya sebagai alumni pesantren. Bibi saya bekerja di bagian keuangan sekolah, dan kepala sekolahnya adalah saudara saya (bibi saya menikah dengan anak dari kepala sekolah tersebut).
Saya sering merasa minder ketika bergabung dengan perkumpulan tersebut, karena mayoritas di dalamnya adalah anak-anak orang kaya. Pada saat itu, zaman HP Nokia, saya tidak memiliki karena keadaan ekonomi saya yang kurang mampu, sehingga saya ketinggalan informasi dari organisasi tersebut.
Bukan berarti saya sombong, tapi saya merasa banyak wanita yang tertarik pada saya. Namun, saya mengabaikannya karena saya lebih memprioritaskan pelajaran daripada fokus pada kegiatan tersebut.
Di sekolah tempat saya bersekolah, saya menjadi loper koran untuk mencukupi kebutuhan hidup. Namun, sebagai remaja, tentu saja ada kelakuan-kelakuan tertentu. Seperti saat itu saya berpacaran, uang untuk berpacaran saya kumpulkan dari uang jatah angkot sekolah saya. Dengan kondisi tersebut, saya berpikir seribu kali untuk menjalin hubungan dengan anak orang. Pada saat itu, saya juga tidak tertarik untuk menikah karena keadaan ekonomi.
Intinya, seorang cowok akan merasa minder ketika melihat orang tua dari cewek yang dia sukai. Takutnya orang tua merendahkan. Daripada itu, lebih baik fokus untuk belajar.