Sambil memandangi hujan lebat dan badai petir, aku menjelajah feed Quora lama dan merasa terinspirasi untuk berbagi pandanganku dengan Grita Amelia mengenai tulisannya di sini:
Jawaban Grita Amelia untuk Apa saja pertanyaan tentang kehidupan yang masih mengganjal di benakmu?
Ada beberapa poin dari tulisan di atas:
– Manusia sebagai produk semesta: Jika produk ini gagal, siapa yang bertanggung jawab?
– Apa fungsi dan kontribusi manusia di dunia ini?
– Di mana posisi “aku” di antara miliaran komponen semesta dan bagaimana mengetahui tugasnya?
Pertanyaan-pertanyaan ini sangat menarik dan menunjukkan bahwa penulis sedang berjuang dengan isu eksistensial, yang menandakan pencarian makna hidup yang lebih dalam daripada sekadar permukaan.
Aku sendiri pernah mempertanyakan hal serupa lima tahun lalu, seperti:
– Mengapa manusia disebut mahakarya Sang Pencipta padahal sering kali berdosa dan mengecewakan-Nya?
– Mengapa Tuhan menciptakan penderitaan seperti cacat organ sejak lahir atau kondisi kehidupan yang parah di beberapa bagian dunia?
Dulu, aku sempat menyebut “Tuhan” sebagai desainer gagal karena banyaknya cacat dalam ciptaan-Nya. Namun, seiring waktu dan perjalanan spiritual, pandanganku mulai berubah.
Jadi, aku ingin berbagi beberapa pemahaman baruku tentang pertanyaan Grita.
Kita semua memiliki “mental model,” yaitu cara kita memodelkan berbagai hal dan konsep yang kita temui dalam pikiran kita yang sangat personal. Misalnya, ketika merencanakan membeli rumah, kita mensimulasikan berbagai aspek seperti uang muka, cicilan, dan kebutuhan kita.
Pemodelanku tentang Tuhan juga telah berkembang. Lima tahun lalu, aku memodelkan Tuhan berdasarkan warisan agama dan budaya yang aku terima. Dalam model ini, Tuhan tidak terlalu efektif sebagai pencipta karena banyaknya neraka dan hukuman yang tampaknya tidak adil.
Namun, sekarang aku melihat Tuhan sebagai sesuatu yang tak terlukiskan, sesuai prinsip Tao: “The Tao [Way] that can be told of is not the eternal Tao; The name that can be named is not the eternal name.”
Aku memandang bahwa alam semesta terjadi di dalam Tuhan. Kehidupan adalah kekuatan yang mengalir melalui berbagai dimensi, seperti sumber mata air yang mengalir ke lautan meski melewati berbagai rintangan.
Bayangkan Tuhan sebagai entitas yang ingin mengalami berbagai cerita kehidupan. Ketika kita mengalami momen intim atau kedekatan, kita mungkin sedang merasakan pengalaman Tuhan.
Mengapa konsep ini bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas? Karena semua adalah bagian dari Tuhan atau “Divine.” Ketika kita menyadari hal ini, kita tidak lagi merasa sebagai korban kehidupan yang kejam. Kita memahami bahwa cerita semesta, termasuk cacat dan penderitaan, adalah bagian dari pengalaman yang ingin dirasakan.
Terkait dengan pertanyaan tentang cacat dan penderitaan, dalam pemodelanku, tidak ada yang salah. Semua cerita semesta, termasuk yang tampaknya tidak adil, adalah bagian dari pengalaman yang lebih besar.
Ketika seseorang mengalami evolusi spiritual, ia mulai menyadari perbedaan antara “self” (diri kecil) dan “Higher Self” (diri besar). Proses ini disebut Awakening, di mana kita mulai merasakan kedamaian dan mengizinkan hidup mengalir melalui kita, seperti yang diungkapkan anakku.
Untuk mengenali dan berhubungan dengan Higher Self, kita bisa melakukan latihan spiritual, seperti berhening dalam tindakan dan keseharian. Indikator bahwa Higher Self yang memegang kendali adalah munculnya rasa damai atau kedamaian, yang merupakan buah dari evolusi spiritual kita.