Tahu kan berapa panjangnya raket badminton untuk orang dewasa? Itulah raket yang digunakan keponakan saya kemarin sore. Umurnya baru 5 tahun. Dia mengalami kesulitan dalam menggunakan raket tersebut. Terlebih lagi, dia baru belajar bermain bulu tangkis.
Beberapa kali dia gagal melakukan servis. Dia mencobanya lagi dan lagi. Hingga akhirnya dia berhasil melakukan servis pertamanya.
“Yeyyyy bisaaa!” Saya spontan berteriak histeris sambil bertepuk tangan. Euforia sore itu membuatnya tersenyum lebar.
Dia mencoba lagi. Seingat saya, dia berhasil melakukan servis sebanyak 3 kali dan saya memberinya apresiasi dengan berteriak senang. Namun, pada servis ke-4, keberuntungan tidak berpihak padanya, dia gagal. Saya diam.
“Tidak bisaaa,” katanya sambil merengek dan menatap saya dengan wajah kesal. Dia mencoba lagi dan… gagal.
“Coba lagi,” kata saya, namun dia kembali gagal.
“Tidak bisaa!” teriaknya sambil melempar raket ke tanah dan berlari menuju rumah. Saya terdiam.
Matahari masih bersinar terang di sore itu. Saya terus bermain bulu tangkis sambil gadis kecil itu tetap berada di dalam rumah. Pikiran saya masih terus terpikat olehnya.
Apakah saya telah membuat kesalahan yang membuatnya begitu cepat menyerah?
Saya teringat dengan film Reply 1988. Setelah Taek menyelesaikan pertandingan baduk, yang pertama kali dikatakan oleh Duksun bukan “bagaimana hasilnya?” melainkan “kamu sudah bekerja keras!!”. Duksun menyoroti dan menghargai proses yang telah dilalui oleh Taek.
Saya menyadari bahwa saya telah melakukan kesalahan. Satu-satunya pujian yang saya berikan adalah ketika keponakan saya berhasil melakukan servis, di mana dia berhasil melakukannya setelah berusaha keras berulang kali. Tanpa disadari, saya telah mengatakan kepadanya bahwa harga dirinya ditentukan oleh hasil yang dia capai. Ketika dia gagal, maka dia dianggap tidak berharga. Mungkin itulah yang membuatnya mudah putus asa ketika usahanya tidak membuahkan hasil. Bukankah kita juga sering merasa seperti itu?