Trauma terberat saya adalah kejadian yang melibatkan ayah saya. Pada tahun 2020, ketika saya sedang duduk di semester 4 kuliah, ayah saya meninggal dengan cara tragis.
Kejadian ini bermula dari masalah yang dikatakan sebagai akibat dari santet, karena ayah saya bekerja di sosial dan sering berkunjung ke rumah-rumah warga, termasuk di daerah pedalaman yang masih memegang tradisi lama. Ayah saya sering menolak tawaran makan di rumah warga, dan kami tidak pernah tahu hati seseorang dengan pasti. Selama hampir setahun sebelum kejadian tersebut, ayah saya sering berlutut meminta maaf kepada ibu dan kami anak-anaknya, serta merasa hidupnya tidak akan lama lagi.
Pada tahun yang sama, ayah saya mulai bertingkah aneh, seperti mengikat lehernya dengan berbagai benda seperti tali dan kabel. Saat saya mencoba menasihatinya bahwa perbuatan tersebut tidak baik, ia hanya berkata itu cuma prank. Setelah kejadian itu, saya berhenti menasihatinya.
Suatu pagi, saya merasa sangat sedih dan sepi. Saya berniat untuk healing bersama sahabat, tetapi cuaca sangat panas, jadi kami menundanya hingga sore. Siang hari, saya merasa sangat ngantuk padahal jarang tidur siang. Ketika saya hendak tidur, saya melihat ayah saya berdiri di atas kursi di pintu gudang, dan saya berpikir ia mungkin ingin memasang gorden, lalu saya kembali tidur.
Saat saya bangun, saya menemukan ayah tergantung dan ada darah di lantai. Saya sangat terkejut dan langsung membangunkan kakak serta memanggil tetangga yang sudah seperti keluarga. Kami panik dan bingung karena baru bangun tidur. Saya terus berharap ayah masih ada, tetapi tetangga mengonfirmasi bahwa ayah telah meninggal. Saya masih merasa tidak percaya dan trauma dengan kematian ayah yang sangat tragis ini.