Mencari pekerjaan ditengah minusnya lowongan kerja.
Sore kemarin.
Saya bertemu dengan beberapa karyawan HR dari berbagai perusahaan multinasional di sebuah sudut kafe Starbuck. Sebelum pandemi COVID-19, ini adalah acara rutin dua bulanan. Setelah dua tahun tidak bertemu karena pandemi, pertemuan pertama kami hari ini. hanya melalui Grup WA.
Acara ini tidak terlalu formal; itu hanya kumpul-kumpul untuk berbicara tentang banyak hal, seperti masalah keluarga, pekerjaan, dan masalah tenaga kerja. Diskusi yang sederhana namun menenangkan. Setelah seharian pertemuan, meminum secangkir teh lemon hangat bisa meredakan saya. Saya mengadakan pertemuan dengan delapan profesional HR yang berpengalaman dalam bidang masing-masing.
Sampai tiba pada obrolan kami tentang cerita dari salah satu rekan kami yang bekerja disalah satu perbankan asing. Cerita yang cukup menarik yang dapat saya bagikan kepada kalian terutama para Job seeker yang sedang mencari kerja.
Sambil tertawa, rekan saya bercerita;
“Bro, ada kejadian lucu kemarin. Team saya baru saja melakukan wawancara dengan kandidat lulusan PTN** dengan tingkat kelulusan rendah (tidak menyebutkan nama universitas). Yang lucunya, ketika kandidat ditanya tentang perkiraan gaji, dia menyebutkan angka fantastis IDR 14.000.000 untuk posisi Officer. Tim saya tidak masalah. Yang perlu dipertanyakan adalah alasan menyebutkan angka-angka tersebut dan apa nilainya. Kandidat malah tidak menjawab. Sekenanya saja”
Ini kasus pertama. Kemudian kasus kedua diceritakan rekan yang lain;
“Saya juga memiliki cerita dari masa kini. Ada seorang kandidat yang selalu memasukkan bintang lima keahlian di CVnya, tetapi ketika dia diminta untuk mengerjakan praktek Excel, dia tidak tahu rumus V LookUp!”
Sementara rekan yang lain menimpali dengan cerita uniknya;
“Dalam pekerjaan saya, tim rekrutmen saya pernah melepaskan satu karyawan yang baru dipekerjakan. Dua hari tanpa kabar karena ketidakcocokan pekerjaan. Meskipun pada awalnya sudah mengetahui Job desknya. Dia mengatakan bahwa itu karena jurusan tidak sesuai. Dia sendiri memilih jurusan yang tidak memiliki banyak peminat dan kemudian meninggalkan posisi saat kami diterima. Dia seharusnya bersyukur karena jurusan kita masih memiliki peminat yang sedikit. Idealis menurut pendapat saya”.
Saya mendengarkan diskusi mereka tentang kandidat lulusan sarjana dengan seksama. Sampai kemudian saya menimpali diskusi mereka;
“Selain itu, apakah Anda menyadari bahwa kualitas lulusan pandemi menurun? Kualitas lulusan pandemi ini menurun drastis dari sebelumnya, bukan? Saya mengatakan kepadanya bahwa meskipun keterampilannya meningkat, keterampilannya malah berkurang jauh”.
Anehnya, setiap karyawan dari delapan perusahaan berbeda mengamininya juga. Mereka bahkan memberikan bukti bahwa kualitas kandidat terus menurun. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
- Efek pandemi, semua virtual. Inti masalahnya adalah pada pengembangan EQ beberapa kompetensi; adaptability, teamwork, coordinations, problem solving dan social communications. Padahal kompetensi diatas diperlukan lulusan untuk adaptasi lingkungan kerja.
- Disetujui atau tidak, dampak pandemi membuat orang memiliki banyak waktu luang. Pemanfaatan waktu ini yang akan berdampak. Kalau memanfaatkan waktu secara positif hasil akan positif. Kendalanya adalah pemanfaatan waktu kosong ini dengan lebih banyak tidur, tidak upgrade diri, mainan HP dan socmed berlebih sampai games online dari pagi ke pagi.
- Banyak lulusan yang memandang bahwa upgrade diri itu sia-sia. Padahal sekarang banyak resources, webinar gratis, kursus gratis, sebenarnya sarana pendukung jaman pandemi itu banyak. Orang lupa memanfaatkan.
- Time management saat pandemi membuat kacau. Segala kebiasaan berubah. Yang biasanya terbangun pagi, membuka beberapa buku atau aktifitas positif, jadinya karena pandemi jadinya lebih malas. Santai karena waktu hanya dihabiskan dirumah. Kegiatan rutin offline sudah off.
Kualitas kandidat pandemi terkadang membuat kami, HR, miris. Bukan karena mereka tidak mampu menyelesaikan tugas, tetapi karena kebiasaan atau adaptasi gaya sosial di tempat kerja yang kurang efektif. Contohnya, sebelum pandemi, mahasiswa dapat melakukan magang secara offline, mempelajari proses di tempat kerja, dan terlibat dalam pelatihan kerja langsung, sehingga mereka tidak kaget ketika mereka lulus dan bekerja.
Ketika pandemi? Semua by online dan ketika pandemi usai mereka akan cukup struggle untuk adaptasi nyata ditempat kerja.
Persaingan ketat adalah alasan lain mengapa banyak sarjana saat ini menghadapi kesulitan mencari pekerjaan. Karena pandemi, jumlah penganggur meningkat menjadi 9,7 juta orang, dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 7,07 persen. Jumlah lulusan kampus pertahun itu sekitar 1 juta dan terserap ditempat kerja itu hanya sekitar 30% saat pandemi atau hanya sekitar 300 ribu yang terserap kerja, masih ada 700 ribu lulusan kampus tidak bekerja per tahunnya. Bukan angka main-main.
Jika Anda lulus dari tahun 2020 hingga saat ini, Anda akan menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mencari pekerjaan. Saingan Anda bukan hanya orang-orang yang baru lulus, tetapi juga orang-orang yang telah mengalami PHK.
Coba buka tautan di bawah ini untuk mengetahui tentang beberapa perusahaan besar dan startup yang saat ini mulai mempekerjakan karyawan mereka dalam jumlah besar untuk mengurangi biaya keuangan perusahaan. Anda harus segera berubah; jangan santai-santai; mulai memperbaiki diri. Daftar kekurangan dan kelebihan Anda dan pikirkan tentang cara memperbaiki kekurangan Anda.
Untuk memperbaiki diri, masih ada banyak tulisan saya tentang pengembangan diri di Instagram feeds dan cerita. Silakan cek, dan semoga bermanfaat.