Banyak orang mengartikan paradoks sebagai sesuatu yang kontradiktif, membingungkan, atau tidak konsisten—yang biasanya memiliki konotasi negatif.
Bagi saya, paradoks adalah manifestasi dari sikap hidup yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Menurut etimologi bahasa Yunani kuno, paradoks berasal dari dua kata:
– *Dokein*, yang berarti berpikir
– *Para*, yang berarti melampaui—seperti dalam istilah paralympic, yang berarti melebihi batasan fisik
Saya menyebutnya Beautiful Paradox (paradoks yang indah) untuk membedakannya dari makna paradoks secara umum. Menurut saya:
Kita berada di berbagai lapisan kehidupan sekaligus—fisik, emosional/mental, dan spiritual. Selain lapisan spiritual, hukum alam menentukan adanya dualitas dan polaritas, seperti Yin dan Yang, atau hitam dan putih. Dalam diri kita sendiri, kita sering melihat kecenderungan polarisasi, seperti introvert atau extrovert, atau kecenderungan mengambil, meminta, atau memberi.
Namun, jika kita pindah ke lapisan spiritual, kita bisa belajar melampaui semua itu. Melampaui pikiran kita sendiri dan pemikiran orang lain tentang bagaimana sesuatu harus terjadi. Itulah yang saya maksud dengan paradoks.
Misalnya, dalam pertandingan anak-anak, orang tua mungkin berdoa agar anak mereka menang, secara tidak langsung berharap agar anak lain kalah. Begitu juga di dunia korporat, jika kita melihat pesaing mendapatkan proyek, kita mungkin merasa iri karena berpikir bahwa jika orang lain mendapatkan sesuatu, porsi kita akan berkurang.
Namun, dalam lapisan spiritual, yang berlaku adalah hukum keberlimpahan yang tak terbatas. Kemenangan orang lain adalah kemenangan bagi kita, karena kita semua saling terhubung. Jika orang lain mendapatkan sepotong kue proyek, itu tidak berarti sisa kue untuk kita berkurang. Secara ekstrem, jika saya memimpin tim proyek dan berambisi mencapai prestasi, saat kesadaran saya mengambil kendali, saya mulai mengadopsi sikap bahwa saya hanya perlu melakukan yang terbaik tanpa mengharapkan imbalan. Outcome adalah urusan semesta, sehingga saya hanya perlu menyerah pada tatanan sistem semesta dan cerita Ilahi.
Ego cenderung tidak suka dengan kondisi ini karena ego ingin menang dan orang lain kalah. Ego, atau Edging God Out (Wayne Dyer), berusaha menghapuskan Tuhan dari persaingan, memaksa kita untuk fokus pada kemenangan pribadi.
Sikap hidup seperti ini tidak unik. Banyak tradisi spiritual memiliki konsep yang mirip:
– Neti Neti (Not This, Not This) dalam Advaita Vedanta, yang mengajarkan bahwa apapun yang kita alami atau anggap benar, itu bukan kebenaran mutlak.
– Kenosis dalam mistisisme Kristen, yang mengajarkan melepaskan ego dan keinginan untuk selalu benar.
– Shunyata dalam Buddhisme Mahayana, yang menekankan kekosongan dan kembali pada kebenaran yang lebih tinggi.
– Lila (Divine Play) dalam Hinduisme, yang menggambarkan dunia sebagai panggung sandiwara.
Manfaat dari mengadopsi paradoks sebagai sikap hidup adalah kita tidak terjebak dalam penjara persepsi kita sendiri. Rumi pernah berkata: “Mengapa kamu tetap di penjara, padahal pintu sudah terbuka lebar?” Ini mengacu pada bagaimana kita sering terjebak dalam persepsi kita sendiri.
Contohnya, seorang teman saya sangat memperhatikan prinsip bahwa pakaian luar tidak boleh dipakai di rumah. Ketika dia berada di kamar hotel dengan orang lain yang tidak mengikuti prinsipnya, dia merasa stres. Namun, dengan mengadopsi sikap paradoks, dia mulai melihat bahwa setiap orang memiliki perspektifnya masing-masing dan persepsinya sendiri adalah penjara yang bisa dia keluar kapan saja.
Penjara lain adalah “keinginan”. Keinginan adalah bagian dari kehidupan kita, tetapi sering kali kita terjebak oleh keinginan tersebut.
Karena kita datang dari perspektif yang berbeda, sering muncul penilaian terhadap orang lain, seperti “Mengapa orang itu berpikir demikian? Itu salah.” Setiap hal yang menggeser kita dari inner peace adalah bentuk penjara virtual bagi saya. Kebebasan kita sering direnggut oleh penilaian dan emosi negatif yang berlebihan. Sikap paradoks memungkinkan kita menerima semua itu dan mengubah penilaian menjadi rasa ingin tahu intelektual. Kita bisa melakukan latihan intelektual: “Mengapa orang itu berpikir ini baik untuknya? Aku tidak bisa melihatnya, coba aku menempatkan diriku di posisinya.”
Bagi saya, hadiah terbesar dari sikap hidup paradoks adalah hidup dengan menyerah pada cerita Ilahi, sehingga inner peace menjadi default dalam keseharian.