Pernah lihat kebiasaan anak autis?
Ilustrasi mengenai anak dengan autisme dapat memberikan wawasan menarik.
Putra saya mengalami autisme dengan tingkat sedang hingga berat. Saya mengamati bahwa aktivitas berulang seperti menyusun dan menghancurkan benda atau melakukan gerakan tertentu secara berulang membantu mengendalikan emosinya.
Fenomena ini sebenarnya memiliki paralel dalam agama. Kegiatan yang dalam kelompok Quranis disebut sebagai tetunggingan bisa dianggap sebagai versi lebih maju dari perilaku autistik. Dalam konteks ini, kita menyebutnya sebagai ritus.
Selain itu, saya belajar bahwa anak-anak autistik sering merasa nyaman saat telinga mereka ditutup. Menutup telinga mengurangi sensitivitas terhadap rangsangan suara dari luar dan membantu meningkatkan kesadaran diri serta kenyamanan. Aktivitas ini mirip dengan praktik meditasi, tapa, atau khalwat dalam agama, yang juga berfungsi untuk menenangkan pikiran dan meraih ketenangan batin.
Perhatikan bahwa kedua elemen tersebut—ritus agama dan sekuler—tidak hanya hadir dalam konteks keagamaan, tetapi juga dalam kegiatan sekuler. Misalnya, perayaan hari kemerdekaan dengan upacara bendera, baris-berbaris, pawai, dan perlombaan adalah contoh ritual sekuler. Jika Anda mengikuti setiap tahap dari ritus sekuler ini dengan sepenuh hati, Anda mungkin mengalami perasaan spiritual yang serupa dengan menjalankan ritus keagamaan.
Ritus, baik dalam konteks agama maupun sekuler, memainkan peran penting dalam menciptakan kenyamanan dan ketenangan batin. Repetisi yang ada dalam ritus menciptakan rasa keteraturan dan komunalitas, membuat kita merasa bagian dari kelompok yang lebih besar, dan memberikan makna dalam hidup, yang pada gilirannya membuat kita merasa tenang dan puas.
Di dunia modern, banyak ritus yang bisa ditemukan, seperti wajib belajar sembilan tahun, perayaan tahun baru, agenda tahunan di dunia kerja (meeting, outing, proyek tahunan, gaji bulanan). Pelajar dan pekerja kantoran sebenarnya menjalankan ritus sekuler dalam hidup mereka. Namun, saat mereka lulus atau pensiun, ritus-ritus ini hilang, meninggalkan kekosongan dan kekacauan, yang sering kali memicu krisis.
Berbeda dengan ritus sekuler yang bersifat temporal, ritus agama tidak mengenal pensiun. Untuk mendapatkan pengalaman yang serupa, temukan ritus yang bisa dilakukan sepanjang hidup. Contohnya termasuk rutinitas bangun tidur pada pukul 04:30 pagi, meditasi 10 menit, jogging 45 menit, sarapan pukul 06:30, makan siang pukul 12:00, dan makan malam pukul 18:30. Menyiapkan dan makan makanan secara teratur adalah bentuk ritus sekuler yang juga dapat membawa kebahagiaan.
Namun, alasan utama mengapa ritus agama memberikan tingkat pemenuhan yang tinggi adalah otentisitas. Mayoritas umat beragama meyakini bahwa ritual yang mereka jalankan sepenuhnya bersifat ilahi, dan benar-benar berasal dari Tuhan. Kepercayaan ini memberikan keyakinan bahwa ritus yang dilakukan benar-benar bermakna.
Menariknya, Anda juga bisa menemukan otentisitas tanpa harus melibatkan agama atau Tuhan. Misalnya, dengan mencari jati diri atau mengejar minat dan bidang yang telah Anda tekuni selama bertahun-tahun. Keberhasilan dalam menemukan hal-hal otentik ini dapat menghasilkan momen eureka yang mirip dengan konsep kasyaf dalam tasawuf.
Kembali ke pertanyaan tentang apakah ada hal lain yang membuat jiwa kita tenang selain agama, jika dirinci, ada tiga elemen utama yang membawa ketenangan:
1. **Ritus**: Proses repetitif yang menciptakan keteraturan dan makna.
2. **Menutup diri secara temporer**: Mengurangi stimulasi eksternal untuk menemukan kenyamanan batin.
3. **Menjadi otentik**: Mencapai kepuasan melalui pencarian dan pengembangan diri yang tulus.
Menemukan ketiga elemen ini dalam hidup Anda dapat membawa ketenangan, bahkan tanpa agama atau Tuhan. Frase seperti “Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat” dapat dipahami secara sekuler sebagai pentingnya ketekunan, konsistensi, dan ritual dalam menemukan kedamaian. Demikian pula, “Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah, hati akan tenang,” bisa dimaknai secara sekuler sebagai pentingnya menjadi otentik untuk mencapai kebahagiaan. Frase “Siapa yang mengetahui dirinya, maka dia telah mengetahui Tuhannya,” menyatukan dua kutub berbeda dalam keseimbangan.
Dengan logika yang sama, jika Anda beragama, jalankanlah ritual agama secara teratur dan konsisten. Ritual inilah yang pada akhirnya menuntun Anda pada kebahagiaan dan ketenangan.