Autisme adalah kondisi neurologis yang berbeda dengan orang pada umumnya. Jadi, sistem saraf tubuh mereka sudah berbeda sejak lahir. Akibatnya, sensasi yang mereka rasakan terhadap suatu hal bisa sangat berbeda dari orang neurotypical. Tentu saja, hal ini mempengaruhi mood mereka, perilaku yang mereka tunjukkan, fokus mereka, cara mereka berpikir, dan lain sebagainya. Daripada fokus pada usaha untuk mengubah anak menjadi “normal” yang hanya akan menyakiti anak dan membuat orang tua lelah secara fisik dan mental, lebih tepat bagi orang tua dan pengajar untuk:
- Tidak perlu memaksa anak untuk menjadi seperti anak-anak pada umumnya. Karena pada dasarnya mereka tidak dilahirkan seperti anak-anak pada umumnya. Memaksa mereka, terutama dengan menggunakan kata-kata dan tindakan kasar, merendahkan, dan menanamkan rasa bersalah hanya akan membuat anak-anak trauma dan menderita. Harus diingat bahwa ketika kita menghukum atau memarahi anak autis agar berhenti melakukan hal “aneh”, seperti terus-menerus bergoyang saat duduk – sebenarnya kita hanya menghilangkan perilakunya saja, bukan mengubah anak tersebut menjadi “lebih baik”. Mereka hanya belajar untuk menekan keinginan bergoyang karena takut dihukum. Padahal perilaku bergoyang tersebut bisa jadi merupakan upaya anak untuk mengalihkan perhatiannya dari sensasi yang menyakitkan, atau upaya untuk merasakan tubuhnya sendiri (ingat, saraf dan sensori anak autis berbeda, yang tidak memiliki saraf seperti itu tidak akan mengerti rasanya). Bukannya menjadi bahagia dan mampu mengoptimalkan diri, malah anak-anak akan lebih suka menarik diri dan cepat frustrasi karena menahan dorongan untuk melakukan perilaku tersebut sangat melelahkan.
- Mari kita pahami karakteristik sensitivitas indera mereka. Anak-anak dengan autisme sering kali merasakan sensasi yang intens atau sebaliknya terhadap hal-hal yang bagi kita biasa saja. Jangan menganggap mereka berlebihan, mencari perhatian, atau sejenisnya ketika mereka “tantrum” (seharusnya disebut “meltdown”). Karena “tantrum” tersebut bukanlah akar masalahnya. Itu hanyalah ekspresi dari rasa stres dan frustrasi mereka. Sebagai orang tua, kita seharusnya mencari tahu dan memahami sensitivitas indera mereka, kemudian membatasi keberadaan hal-hal yang mengganggu indera mereka tersebut. Sensitivitas indera yang umum terjadi pada anak-anak dengan autisme adalah ketika tubuh mereka terlalu sensitif terhadap suatu hal (hipersensitif), misalnya sentuhan pada tubuh mereka bisa menyakitkan, cahaya yang biasa saja bisa terasa sangat silau, atau suara orang berbicara bisa terasa sangat menyakitkan bagi mereka (ada yang memberikan headphone sebagai penutup telinga untuk mengurangi rangsangan suara pada anak). Sedangkan contoh untuk hiposensitif (kebalikan dari hipersensitif) yang saya tahu adalah ketidakmampuan mereka merasakan tubuhnya sendiri, seperti merasa melayang-layang. Beberapa perilaku yang ditunjukkan adalah bergerak terus menerus saat duduk, sering melompat-lompat, atau bergerak/berlari dengan cepat. Kadang-kadang mengenakan pakaian yang ketat atau berat bisa membuat mereka merasa lebih baik.
- Jangan memaksa anak untuk berbicara. Tidak semua anak autis berkomunikasi dengan berbicara, mereka memiliki cara sendiri yang nyaman bagi mereka. Bantu mereka menemukan cara yang paling nyaman. Ada yang mengetik di laptop, ada yang menggunakan bahasa isyarat, ada juga yang menggunakan bantuan teknologi yaitu aplikasi AAC. Singkatnya, AAC adalah aplikasi yang berisi kumpulan kata bergambar yang dapat ditunjuk oleh anak untuk berkomunikasi.
- Bangun komunikasi dan tanyakan apa yang ia inginkan. Lihat mereka sebagai manusia yang juga memiliki keinginan, perasaan, pendapat, bisa merasa senang, sakit hati, stres, kecewa, kaget, dll.
- Dampingi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Jangan hanya pasrah dengan program yang diterapkan pada anak. Jika anak dapat berkomunikasi, tanyakan perasaannya. Anda juga dapat memperhatikan apakah ada perubahan positif atau justru negatif terhadap mood anak.
- Ingatlah bahwa autisme adalah spektrum. Tidak ada anak autis yang sama. Mendapatkan informasi dari orang lain tentang autisme merupakan hal yang baik, tetapi seperti orang pada umumnya yang memiliki keunikan masing-masing, anak autis juga begitu. Tidak ada yang sepenuhnya sama. Kita tahu bahwa anak kembar pun sangat bisa memiliki perbedaan. Begitu juga dengan setiap individu autistik.
- Jangan lupa, baik sebagai pengajar, terapis, atau orangtua dari anak autis, kita sedang membangun hubungan! Dalam hubungan, yang paling penting adalah kepercayaan dan rasa aman. Hubungan yang didasari oleh rasa takut dan marah (seperti memaksa, menghukum, menyudutkan, menghilangkan hal yang disukai, dll) tidak akan menciptakan rasa aman, apalagi rasa hormat. Bahkan anak-anak neurotypical pun, ketika tidak suka, takut, atau tidak percaya pada pengasuhnya, mereka akan memukul, berteriak, menangis, atau berbohong. Mengapa kita mengabaikan hal ini pada anak autis? (Periksa perasaan dan pola pikir masing-masing, apakah kita terlalu menuntut, frustrasi, atau lelah sehingga kurang mampu untuk memperlakukan individu yang sulit dipahami dengan manusiawi?). Pahami juga keunikan masing-masing anak (preferensi, sikap terhadap suatu hal, mood, cara belajar, rutinitas, “ritual,” sensitivitas, dll). Ketika mereka merasa kebutuhan mereka diakomodasi oleh kita, mereka akan merasa lebih aman berada di sekitar kita dan proses pembelajaran dapat terjadi.