“Kamu benar-benar terlihat tenang.”
Saat itu, saya sedang menikmati jus alpukat ketika seorang teman mengatakan hal itu, membuat saya sedikit terkejut dan hanya menjawab, “Oke,” sebelum kembali menikmati jus saya.
Sebenarnya, saya bukanlah orang yang tenang. Saya lebih seperti gelombang emosi yang sering kali meluap dan hanya membutuhkan sedikit dorongan untuk meledak.
Bagi mereka yang sudah lama mengenal saya, mereka tahu bahwa saya adalah contoh kekacauan. Emosi saya sering tidak stabil, dan temperamen saya hampir seperti nama tengah saya.
Saya ingat masa-masa ketika saya sering menangis dan marah hanya karena kelelahan sepulang sekolah.
Namun, kecuali di media sosial atau saat menulis, saya jarang menunjukkan emosi itu secara nyata. Hingga pada titik di mana orang-orang menganggap saya sebagai sosok yang tampak tidak punya masalah.
Jika ada sesuatu yang tidak berjalan sesuai rencana atau menimbulkan masalah, saya hanya akan berkata, “Gpp,” sambil melanjutkan aktivitas seperti biasa. Jika sesuatu memicu emosi saya, saya hanya akan menjawab, “Oke,” dengan nada datar, lalu bertindak seolah tidak ada yang terjadi.
Setelah merenung, saya menyadari bahwa beberapa hal mungkin telah mengubah sikap saya ini:
**Penerimaan**
Saya menerima bahwa saya tidak bisa mengendalikan dunia.
Dunia ini mungkin keras dan sering tidak peduli, tetapi lebih sering lagi tidak menunjukkan kepedulian sama sekali. Jadi, hidup ini sebagian besar bergantung pada bagaimana saya merespons, bukan pada apa yang terjadi. Dunia mungkin kejam, tapi reaksi saya terhadapnya yang menentukan bagaimana saya merasa.
**Pengalihan**
Saya masih bisa marah, khawatir, atau bahkan merasa sangat bahagia. Namun, saya memilih untuk tidak menampilkannya secara langsung. Saya tahu bahwa semua orang juga memiliki masalah mereka sendiri, jadi saya tidak mengharapkan banyak perhatian.
Sebagai gantinya, saya mengekspresikan emosi saya melalui tulisan dan simbol di media sosial, yang saya kontrol sepenuhnya. Ini memberi saya cara untuk menyebarkan perasaan saya tanpa perlu menunjukkan semuanya secara langsung kepada dunia.
**Peniadaan Harapan**
Saya baru saja berusia 20 tahun pada bulan Agustus lalu, usia yang cukup untuk menjadi dewasa dan mulai mengejar mimpi-mimpi yang saya miliki sejak kecil.
Namun, saya tidak memiliki harapan-harapan itu. Hidup saya berjalan hanya untuk mengatasi kebosanan. Jika ada hal buruk terjadi, saya merasa tidak berhak untuk kecewa karena saya tidak pernah benar-benar berusaha menghindarinya.
Apa yang kita pikirkan, itulah yang kita dapatkan.
**Ketiadaan Ideal**
Bagaimana seharusnya hidup berjalan menurut Anda?
Saya percaya bahwa hidup ini sering kali tidak sesuai harapan dan cenderung buruk.
Saya ingat satu kejadian sebulan lalu ketika seorang teman membayar makan mie ayam saya dengan uang hasil perjudian. Saat itu saya bercanda, “Awas kalau aku sakit perut!” dan seorang teman lainnya menjawab, “Kamu peduli dengan halal haram?”
Saya jawab tidak, lalu kembali makan mie ayam dengan tenang.
Saya tidak percaya pada konsep akhirat atau sistem peradilan tertinggi dengan entitas yang maha mengetahui. Saya tidak memiliki pandangan moral yang jelas dan tidak terlalu mematuhi aturan dasar. Selama saya tidak merugikan orang lain (selain diri sendiri), saya cenderung santai meski dunia mungkin menganggap saya salah.
Anda mungkin berpikir saya sedang menghancurkan diri sendiri. Saya tidak peduli.
**Menghilangkan Kebencian**
Membenci itu melelahkan, sungguh.
Sekarang, jika sesuatu tidak sesuai dengan preferensi saya, saya biasanya hanya mengabaikannya. Saya tidak lagi berusaha terlibat dalam hal tersebut.
Kepedulian sering kali membawa kekacauan. Saya lebih memilih untuk tidak terlibat.
Akhirnya, bagi seseorang dengan sifat bergejolak seperti saya, menjadi tenang berarti berhenti terlibat dalam kehidupan.