Saya telah tinggal di Jerman selama beberapa tahun, hampir dua pertiga dari hidup saya. Saya pernah sekolah di sini dan kemudian tinggal bersama orang Jerman, yang membuat saya anak-anak blasteran. Dididik di sini, anak-anak saya mengikuti adat istiadat Jerman. Saya membiarkan anak saya bermain dengan anak-anak turis Brazil saat mereka berusia 10 dan 9 tahun ketika kami pergi ke Bali. Anak saya tiba-tiba datang ke saya dengan menangis dan mengatakan dia disebut “Nazi”.
Meskipun mereka tidak tahu siapa “Nazi”, mereka hanya belajar tentang sejarah tentang apa itu “Nazi”.
Saya sadar waktu itu kalau kata-kata “Heil Hitler“, “Nazi”, ”Cerita tentang kekejaman Nazi” sangat menjadi momok bahkan cemeti untuk orang Jerman.
Transgeneration Traumata yang sering disebutkan di sini, bukan cuma mereka yang dulu ikut berperang atau generasi tua. Mereka yang muda dipaksa merasa bersalah karena dosa leluhur. Saya mencoba menghibur “anakku, tidak ada satupun dari keluarga kita yang pernah bergabung dengan Hitler maupun Nazi”. Jawabnya anak-anak saya “tapi kita orang Jerman mami“. Sulitnya menerangkan apa artinya Nazi yang sesungguhnya. Karena nila setitik rusaklah susu sebelanga.
Saya ingat waktu jaman sekolah, kala itu saya membawa teman teman Jerman saya untuk ikut berlibur ke Indonesia, kita waktu itu hiking dari Solo ke Candi Sukuh, melewati banyak sawah dan desa-desa. Kita sangat senang dengan keramah-tamahan orang-orang yang kita lewati, pada makan siang di salah satu warung ada orang yang bertanya dari mana asal teman-teman bule ini, saya jawab, “mereka dari Jerman”. Eh, ada seseorang langsung berdiri dengan sikap tegak dengan tangan ke depan sambil mengucapkan, “Heil Hitler!”
Teman-teman saya jadi berhenti makan dan marah sekali dan mereka langsung menginggalkan Warung tersebut. Di tengah jalan saya bertanya, “kenapa tersinggung? Toh itu atas dasar ketidak pengetahuan dari orang itu?” Mereka jawab, “ini keterlaluan sekali, masa semua orang Jerman dianggap Nazi.”
Ya Ampun… baru tahu ada yang namanya Transgeneration Traumas.
Defenisi dari itu adalah :
“The psychoanalytic term of transference not only describes an ongoing event between analyst and client in therapeutic processes but points to a formative phenomenon in all human relationships. Those transmissions have great influence on intergenerational relations in a good or bad sense. Freud called this kind of transmission an emotional heritage. The questions which are raised concern the differences between generations and what connects them together as well as the role of conscious and unconscious transmissions in this process. First the mechanisms of unconscious transmissions of experiences from the parents to their children are described. Afterwards the effects of the unwilling transmission of (extreme) traumata or involvements into guilt to victims’ or perpetrators’ offspring are discussed.
Terjemahan:
“Istilah transferensi psikoanalitik tidak hanya menggambarkan peristiwa yang sedang berlangsung antara analis dan klien dalam proses terapeutik tetapi menunjuk pada fenomena formatif dalam semua hubungan manusia. Transmisi tersebut memiliki pengaruh besar pada hubungan antargenerasi dalam arti baik atau buruk. Freud menyebut transmisi semacam ini sebagai warisan emosional. Pertanyaan-pertanyaan yang diangkat berkaitan dengan perbedaan antar generasi dan apa yang menghubungkan mereka bersama serta peran transmisi sadar dan tidak sadar dalam proses ini. Pertama, mekanisme transmisi pengalaman tak sadar dari orang tua ke anak-anak mereka dijelaskan. Setelah itu, efek penularan trauma (ekstrim) atau keterlibatan menjadi rasa bersalah kepada keturunan korban atau pelaku didiskusikan”
Keywords: emotional heritage, transgenerationality, intergenerational relationships, Holocaust-survivors, perpetrators.”
Sumber dari Wikipedia English & Jerman,
terjemahan:
“Hormat Hitler, secara resmi dan dalam bahasa Sosialis Nasional juga dikenal sebagai Heil Hitler, adalah bentuk sapaan yang lazim selama era Nazi. Itu adalah ekspresi kultus kepribadian Sosialis Nasional di sekitar Adolf Hitler”