Bagaimana usaha Anda untuk memiliki rumah sebelum umur 30 tahun?
Share
Sign Up to our social questions and Answers Engine to ask questions, answer people’s questions, and connect with other people.
Login to our social questions & Answers Engine to ask questions answer people’s questions & connect with other people.
Lost your password? Please enter your email address. You will receive a link and will create a new password via email.
Please briefly explain why you feel this question should be reported.
Please briefly explain why you feel this answer should be reported.
Kalau ditanya “Bagaimana usaha saya untuk memiliki rumah?”
Mungkin akan dijawab “TANPA USAHA”
Tapi sayangnya itu bukan jawaban saya, melainkan jawaban teman-teman atau bahkan saudara-saudara saya.
Yup, karena rumah saya ini saya miliki dari hasil jual warisan Almarhum Papa. Sekilas, memang tanpa usaha. Lah warisan? usaha apanya sih kalo dapet warisan?
Namun apa mau dikata, pandangan mata memang dapat menipu. Hanya kelihatannya saja saya tanpa usaha. Ok gini, saya ceritakan detailnya deh.
Alhamdulillah, Almarhum papa saya mampu mewariskan sebidang tanah di Jakarta Selatan, seluas 40 meter persegi kepada saya yang letaknya di dalam gang yang jalanannya muat dilewati 2 motor nge-pas, yang tadinya padat penduduk dan penduduknya itu sebagian besar masih ada ikatan keluarga.
Singkat cerita, lingkungan tempat saya tinggal itu menjadi sepi, karena rumah demi rumah dijual oleh saudara-saudara saya ke pengusaha kaya yang memang menyampaikan ke keluarga besar saya kalau mau jual tanah, ke beliau saja, akan dibeli. Yang tadinya ada puluhan rumah, tersisa 3 rumah yakni, 2 rumah keluarga saya dan 1 rumah keluarga sepupu saya.
Beruntungnya, Stasiun MRT dibangun di dekat rumah saya, tidak jauh, jalan kaki hanya 10 menit, kalo naik motor hanya 3-4 menit.
Harga tanah di lingkungan saya yang pada 2016 harganya masih 5jt/meter menjadi 14jt/meter pada tahun 2018.
Karena ada masalah keuangan dan mendapat penawaran harga yang bagus, keluarga saya pun dengan berat hati menjual rumah, saya yang anak ke 5 dari 5 bersaudara ini hanya manut menuruti kemauan ibu saya dan keluarga saja.
Saya mendapatkan jatah saya 40m² di angka 14jt/m², ditotal sekitar 560.000.000 saya dapatkan. Memang banyak bagi saya, karena seumur-umur baru megang uang sebesar itu ya pada saat jual warisan itu.
Dimulailah pencaharian rumah huni baru, saya yang telah menikah dan dikaruniai 2 orang anak laki-laki ini pun berunding dengan istri. Kami sepakat mencari rumah huni baru di daerah Tangerang Selatan dengan alasan agar kalau mau berkunjung ke tempat orangtua masing² itu tidak jauh, sebab ibu saya pindah ke daerah Tangsel dan Mertua saya, sejak istri saya kecil tinggalnya di Tangsel.
Istri saya tidak mau Tanah Kosong, ia mau rumah jadi. Karena jika bangun rumah dari awal dengan uang yang ngepas, ada ketakutan berhenti di tengah jalan dan gak jadi, karena uang nya ngepas kalo untuk beli tanah kosong + bangun.
Saya pikir benar juga, karena setelah saya survey Harga tanah di Tangsel yang dekat dengan kediaman orangtua kita masing², harganya sangat ngepas dengan budget.
Kami gak muluk-muluk, luas tanah minimal 50 m² dan jalan depannya muat dilewati mobil pun cukup, namun karena saya carinya di tangsel yang masih dekat dengan perbatasan Jaksel, Harganya sangat ngepas dengan budget saya, belum untuk bangun-nya, perabotan, segala macam.
Tapi Allah berkehendak lain, ketika membuka aplikasi OeLeX, mata saya tertuju kepada sebuah iklan tanah kosong yang dijual di daerah Tangsel, yang di-iklan tersebut seluas 120 m² seharga 420jt saat itu. saya pikir mungkin mau nih dibagi dua, jadi saya beli setengahnya, karena alasan jualnya itu jual butuh. saya pun menghubungi si pengiklan, dan pengiklan nya menyambungkan saya dengan si pemilik.
Saya pun mengatur jadwal untuk survey ke lokasi tanah tersebut diantar sepupu dekat saya yang juga habis kebagian warisan. Dan saya naksir dengan lokasinya, terletak dikomplek, di dataran tinggi yang tidak banjir, jalanan muat mobil, halaman luas.
Saya pun menyampaikan untuk membeli setengahnya, namun penjual bilang ia ingin menjual seluruhnya.
Saya pulang membawa sedikit perasaan kecewa yang sebabnya karena harapan saya sendiri. Sepupu sepanjang perjalanan mengingatkan, “cari yang lain aja, jangan maksain”.
Sampai di rumah, saya menyampaikan ke istri bahwa saya mau tanah itu, saya mau tawar lagi. Terlihat ketika saya menyampaikan keinginan saya itu, raut wajah istri menunjukkan ketidak sukaan-nya. Kekhawatiran istri akan tidak terbangunnya bangunan rumah jika saya membeli tanah itu, terbaca dari raut wajahnya ketika merespon saya yang menggebu-gebu memuji lokasi tanah yang saat itu barusan saya survey.
Negosiasi terus saya lakukan melalui chat WhatsApp kepada penjual. saya Tawar 320jt, ditolak, saya tawar lagi 325jt ditolak, penawaran terus saya naikan 5 jt, selama 3 hari saya membujuk rayu sang penjual hingga akhirnya deal di angka 365jt dengan catatan biaya surat ditanggung masing-masing.
Transaksi pun dilakukan di notaris, saya mengajak kakak pertama saya yang perempuan untuk menemani, karena kebetulan ia mengerti soal pertanahan.
Total biaya tanah + surat 385jt, sisa uang tinggal 160 juta, karena 15 jutanya saya sengaja untuk beli komputer (untuk usaha online) dan perabotan rumah yang saat itu saya taro sementara di tempat ibu saya.
160jt buat bangun rumah di daerah perkotaan? disinilah letak serunya dan saya merasa usaha saya habis-habisan saya luangkan di sesi bangun rumah ini. Karena ingin membuktikan juga ke istri bahwa keputusan saya ini tepat.
Saya dikenalkan oleh kakak ipar dengan pemborong langganannya, saya diberi advice sebaiknya borong tenaga saja, dan bahan-bahan materialnya beli sendiri.
Saya ikuti saran-nya. Negosiasi ke pemborong, hingga deal di angka 60jt untuk menggunakan jasa tenaga Tukang 4 orang dan asisten 3 orang dengan estimasi 2 bulan jadi ditotal bangunan 70m².
Saya diberi siasat oleh kakak ipar saya yang kebetulan lulusan Teknik Sipil ITS, bahwa kalau mau murah dan simpel, tembok dalam jangan di plester aci, tapi dengan papan gypsum, dipantek ke hebel, bagian-bagian berpotensi terkena air aja yang diplester aci, seperti kamar mandi, bagian luar, dapur, lalu list tembok bawah, gunakan Papan GRC yang anti air, agar kalo ngepel aman.
Setiap hari saya ikut mandori rumah saya sendiri, karena saya yang belanja bahan bangunan di sisa uang 100jt, sambil nunggu Sertifikat rumah jadi yang kebetulan sedang ada Prona dan itu diurus kakak pertama saya.
Di tengah-tengah proses bangun rumah kakak saya memberi kabar bahwa tanah saya seluas 130m² dan akan tercatat di Sertifikat, saya kaget dan menyampaikan ke penjual yang kebetulan saat itu sedang melihat saya sedang bangun rumah.
Saya: “Pak, ini tanah lebih 10m², kemarin saat diukur BPN tanah ini 130m²”
Gak disangka, si penjual bilang “Udah, itu rezeki kamu!”
Alhamdulillah, seperti dapet durian runtuh, gimana nggak? dikondisi uang tinggal 100jt yang itupun saya yakin gak cukup untuk bahan bangunan sampai rumah saya jadi, saya takut diperkarai lagi. Tapi, si penjual dengan entengnya mengikhlaskan 10m² kelebihannya.
Setiap hari saya beli kebutuhan bahan-bahan untuk bangun rumah, hingga akhirnya uang pun hampir habis, bangunan baru jadi setengahnya.
Saya yang saat membangun rumah itu tidur di rumah ibu saya karena agar dekat bolak-balik ke lokasi rumah saya terbaca oleh ibu saya bahwa saya sedang ada masalah, di tengah diamnya saya karena masalah uang, tiba-tiba ibu saya bilang “Lanjut aja bangun rumahnya! gak usah takut gak jadi, besok mama transfer 50jt”
Mood langsung berubah drastis, semangat membangun rumah hadir lagi, mulai lagi belanja-belanja bahan bangunan, Alhamdulillah Pelan-pelan rumah selesai, namun ada sisa 2 hal, yakni mengomprok tembok samping dan memasang konblok di halaman.
Saya tanya pemborongnya harus nambah lagi, saya pun buat penawaran, kalo saya akan tawarkan dia ke saudara saya yang mau bangun rumah, namun biaya ngomprok dan pasang konblok itu Gratisin.
Setuju, selang seminggu saya rekomendasikan ke saudara saya untuk menggunakan tenaga nya, saudara saya mau, karena hitungannya murah, tenaga 7 orang hanya 857rb/m² sampai rumah jadi.
Tembok saya dikomprok, konblok dipasang.
2 bulan pas rumah saya jadi, Usaha saya bolak-balik, ngehitung ini itu, belanja bahan material, izin-izin ke RT, RW, Deketin Satpam Komplek, izin ke tokoh masyarakat sini, deketin preman² sini. Istri bisa nafas lega, kekhawatirannya hilang, karena rumah kami sekarang Layak dihuni. Yup, rumah hasil jual warisan, yang bagi teman dan saudara-saudara saya didapatkan “TANPA USAHA”.
Bagi orang cenderung boros di makanan seperti saya, memanage uang sebegitu banyak (untuk saya banyak) adalah usaha besar. Perjalanan membangun rumah ini salah satu usaha terbesar saya dalam hidup, karena diliputi suka duka yang sangat mendalam.
Dan beruntungnya lagi, setelah dihitung-hitung, Tanah yang saya beli harganya hampir 50% dibawah pasaran disini. Pasaran disini sudah Rp 5jt/m² dan saya beli hanya 2,7jt/m². Bahkan persis disamping saya rumah dengan luas tanah yang sama sedang dijual dengan harga 900jt.
Terimakasih Almarhum Papa saya yang sudah mampu mewariskan harta kepada saya anaknya ini, tanpa sebab beliau, gak tau saya bakal punya rumah atau nggak, karena saya gak mau punya hutang dan paling anti sama mikirin pusingnya bayar cicilan (bukan anti cicilannya ya, tapi anti sama pusingnya). KPR? 10 tahun 15 tahun nyicil, bagi saya beraaaat… Makanya salut untuk mereka yang berani KPR, luar biasa keberaniannya.
Itu pengalaman saya membangun rumah 1 lantai seluas 70m² yang berdiri di tanah seluas 130m² ini:
Terimakasih atas Pertanyaan-nya 🙏🙏🙏