Menarik sekali! Saya sedang membaca buku tentang kesetaraan dan keadilan gender, tetapi dari perspektif agama Islam.
Buku tersebut adalah Qirā’ah Mubādalah yang menawarkan pandangan tentang aturan gender yang ketat dengan pendekatan yang lebih seimbang dan maskulin. Teks-teks keislaman dalam buku ini menyajikan narasi yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi yang setara sebagai manusia.
Ditulis oleh Faqihuddin Abdul Qadir, buku ini memiliki 616 halaman. Buku ini sangat berharga untuk dibaca, terutama dalam upaya memperbaiki ketimpangan relasi gender sehingga laki-laki dan perempuan bisa mendapatkan hak-hak yang setara dan terhindar dari kerugian.
Baik, ketimpangan gender memang sering kali mengakibatkan perempuan tidak mendapatkan keuntungan yang sama seperti laki-laki. Selain itu, ketidaksetaraan ini sering mengabaikan perbedaan biologis dan sosial yang ada antara laki-laki dan perempuan. Buku *Qirā’ah Mubādalah* berhasil menyoroti bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama manusia yang utuh, namun kesadaran ini harus diimbangi dengan pemahaman tentang pentingnya mempertimbangkan kekhasan masing-masing dalam menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan. Terutama mengingat bahwa peran perempuan sering kali diabaikan dalam konteks kemanusiaan.
Islam dan kultur patriarki adalah dua hal yang berbeda, namun sering disalahartikan sebagai satu kesatuan. Terkadang, kritik terhadap Islam berasal dari sentimen yang mungkin tidak adil atau berlebihan, apalagi jika didukung oleh sebagian umat Islam yang menunjukkan sikap intoleran atau objektifikasi terhadap perempuan.
Contoh terbaru dari diskriminasi gender dapat dilihat dalam kebijakan rezim Taliban di Afghanistan, yang melarang perempuan berolahraga, terlibat dalam pemerintahan, dan mewajibkan perempuan untuk memiliki wali saat keluar rumah.
Penting untuk memahami bahwa citra negatif terhadap Islam, terutama dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, dapat dikoreksi dengan metode penafsiran yang mendukung egalitarianisme. Salah satu metode tersebut adalah Qirā’ah Mubādalah, yang dikenal juga sebagai tafsir resiprokal. Metode ini dikembangkan oleh Faqihuddin Abdul Qodir dan berfokus pada kesalinghubungan antara laki-laki dan perempuan dalam penafsiran al-Qur’an dan hadis.
Dalam pendekatan Qirā’ah Mubādalah, teks al-Qur’an dan hadis dipahami dengan mengutamakan prinsip-prinsip universal yang berlaku untuk semua gender, tanpa memandang jenis kelamin. Misalnya, ayat al-Qur’an dalam QS. at-Taubah: 71 menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan berperan sebagai penolong satu sama lain dalam melakukan kebaikan dan menghindari keburukan. Ini menunjukkan bahwa keduanya memiliki posisi yang setara dalam melakukan kebaikan.
Pendekatan ini melibatkan tiga langkah utama: pertama, menggali prinsip universal Islam tanpa memandang jenis kelamin; kedua, menemukan gagasan utama dari ayat tanpa mempertimbangkan jenis kelamin; dan ketiga, menerapkan gagasan tersebut secara setara untuk semua jenis kelamin.
Misalnya, dalam ayat QS. Ali Imran: 14 yang menyebutkan perempuan sebagai perhiasan dunia, tafsir resiprokal Qirā’ah Mubādalah menunjukkan bahwa perempuan juga bisa dipandang sebagai subjek yang memiliki potensi untuk menggoda laki-laki. Oleh karena itu, prinsip yang diambil adalah bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus menjaga diri dari godaan duniawi agar tetap fokus pada ibadah kepada Tuhan.
Secara keseluruhan, Qirā’ah Mubādalah mengajukan bahwa laki-laki dan perempuan adalah perhiasan dunia bagi satu sama lain yang bisa saling menggoda, sehingga keduanya perlu menjaga diri dari godaan duniawi dan saling mendukung dalam beribadah kepada Tuhan.