Saya yakin hal ini tidak akan terjadi lagi, dan bahkan jika ada partai politik yang berfokus pada ideologi lain daripada Pancasila, mereka pasti akan kalah telak dan tidak akan mau beradaptasi dengan kondisi sosial-politik Indonesia.
Ada sejumlah alasan mengapa partai politik yang berbasis ideologi tidak akan berhasil. Pertama, budaya orang Indonesia suka mengambil jalan tengah. Banyak orang Indonesia tidak suka gontok-gontokan dan mencari jalan tengah sebagai solusi terakhir agar semua pihak merasa tenang. Jika orang Indonesia benar-benar marah dan jalan tengah tidak ditemukan, biasanya solusi terakhir adalah mengamuk dan merusak barang sampai masalah selesai.
Selain itu, umat Islam di Indonesia menganut mazhab Syafii, yang berfungsi sebagai jalan tengah antara ajaran Syiah, mazhab Hanafi, dan mazhab Hanbali.
Pada dasarnya, semua orang Indonesia sangat menyukai keharmonisan dan kemampuan berkompromi. Akibatnya, akan sulit bagi partai idealis—atau, dengan kata lain, egois—yang berbasis ideologi untuk bangkit kembali di Indonesia, seperti yang terjadi pada era Demokrasi Liberal.
Apalagi ketika Indonesia berada di masa Demokrasi Liberal benar-benar mengalami keadaan yang tidak stabil, banyak orang tewas hanya akibat perbedaan ideologi dan Bung Karno sampai menangis lalu beliau mengusulkan adanya pembuatan lembaga anti-partai yang bernama Golkar (Golongan Karya) yang nantinya dieksekusi pembuatannya oleh Jenderal AH Nasution dan kemudian praktiknya dilakukan di zaman Orde Baru. Bung Karno juga berharap Golkar dapat menghilangkan penyakit idealisme dari ideologi yang muncul di zaman Demokrasi Liberal dan menyebabkan konflik.
Selain itu, saya percaya bahwa orang Indonesia tidak lagi berpikir bahwa mereka harus menganut ideologi tertentu atau menjadi penganutnya. Apa yang sebenarnya mereka harapkan dari negara mereka saat ini adalah penegakan hukum yang adil, kemakmuran bagi semua orang, pembangunan berkala, dan birokrasi yang sehat. Dan ideologi hanyalah contoh.
Ketentraman adalah prioritas budaya, dan jalan tengah ini bukan hanya ciri khas Indonesia. Budaya yang serupa dianut oleh banyak negara di Asia Tenggara. Sayangnya, beberapa orang Indonesia yang menghabiskan waktunya di Barat tidak memahami hal ini dan terus mengatakan bahwa demokrasi Indonesia harus sebanding dengan Barat. Mereka tidak pergi lebih jauh.
Ini juga menjelaskan mengapa lebaran muslim di Asia Tenggara berfokus pada maaf-maafan daripada merayakan pesta besar-besaran seperti yang terjadi di negara-negara Timur Tengah lainnya.
Selain itu, saya ingin menambahkan bahwa sejak kemerdekaan Indonesia, istilah konservatif dan liberal menjadi sangat asing. Sebenarnya, istilah-istilah ini berasal dari budaya Anglo-Saxon.
Terimakasih.