Ngga juga.
Saat masih bekerja dan mengajar di sebuah madrasah yang honornya seupil, ayah saya hanya lulusan pesantren, bukan sekolah formal. Dia hanya seorang petani dengan lahan dua hektar.
Semasa kami kecil, saat musim kemarau panjang, sulit mendapatkan beras, jadi kami hanya makan tiwul, lauk ikan asin, atau telur sebutir dicampur dengan parutan kelapa lalu didadar untuk makan bersama.
Ibu saya sudah meninggal.
Tidak ada dari sembilan anak-anaknya yang miskin; mereka semua lulus perguruan tinggi. Kebanyakan dari mereka adalah guru. Secara matematika, saya tidak yakin mengapa bisa, meskipun gaji ayah saya sangat kecil.
Saya bersyukur lulus S2 dan saat ini bekerja sebagai CFO di perusahaan sawit, dan saya tidak miskin.
Kalau diceritakan bagaimana perjuangan kami masing-masing untuk mencapai hal tersebut, tentu banyak ceritanya. Saya ikut di rumah mbah saya di Palembang dengan membantu beternak puyuh. Adik saya yang ke-2 kuliah sambil bekerja di restoran. Begitu saya lulus dan bekerja, saya bisa membantu biaya kuliah adik saya yang ke3, begitu seterusnya sampai semuanya mentas kuliah.
Ini foto kami 9 bersaudara. Satu per satu bisa menempelkan foto wisudanya di rumah ayah saya.