Mungkin jawaban saya akan terdengar paradoks.
Aku Mengalami Tuhan justru dengan meninggalkan agama
Mungkin jawaban saya akan terdengar paradoks:
Ada sebuah dialog yang membuatku tersenyum:
+: Apakah kamu percaya kepada Tuhan?
-: Jika kamu masih berada di level ‘percaya’, berarti kamu masih memerlukan keyakinan. Namun, jika kamu ‘mengalami’, itu akan menjadi Kebenaran pribadi kamu sendiri.
Aku sendiri tidak terlalu ‘menyembunyikan’ fakta bahwa aku menganut paham: “Spiritual but Not Religious”. Bahkan di lingkungan kantor di Indonesia, aku merasa aman saja (mungkin karena aku adalah pimpinan, atau mungkin ada percakapan di level staf, tetapi aku sama sekali tidak terganggu).
Pertanyaannya kemudian, Tuhan seperti apa yang aku alami?
Yang jelas, bukan sosok Tuhan yang sering digambarkan oleh dogma-dogma: bukan sosok pemarah, pencemburu, atau penghukum. Kata ‘Tuhan’ sendiri jarang aku pakai; mungkin lebih sering menggunakan kata Divine. Mendeskripsikan ini sulit dilakukan dengan kata-kata. Seperti sulitnya mendeskripsikan rasa durian kepada orang Eskimo yang mungkin tidak pernah mengenal buah durian. Tapi secara dasar, pengalaman ini seperti begini. Mungkin bisa lebih mudah dipahami melalui pendekatan rasa. Rasa bahwa konsep Tuhan yang kumaksud bukanlah entitas eksternal, melainkan sesuatu yang meliputi segala sesuatu—seperti analogi atom yang ada di darah kita, di sel-sel, tetapi juga ada di seluruh semesta. Dengan melihat bahwa segala sesuatu adalah Tuhan, ‘aku’ yang menjalani cerita sebagai tubuh fisik ini, abang ojek yang mengantarku, kemacetan lalu lintas, dan pemotor yang melawan arah—semuanya adalah manifestasi dari samudera cerita. Maka, jika kesadaran ini muncul, sering kali saat aku naik ojek di tengah kekacauan lalu lintas, aku merasa tersenyum, meletakkan tangan di hati, dan mengirim salam kepada semua yang kulihat dan jalani.
Semua itu adalah Tuhan, dan sekaligus semuanya bukanlah Tuhan (aku memang suka paradoks 🙂
Kita semua pasti pernah merasakan cinta, kan? Cinta kepada pasangan, anak, keluarga; juga cinta terhadap sesuatu seperti hobi atau kesukaan. Nah, ini rasanya seperti itu, tapi tanpa objek. Jadinya, hanya ada cinta saja tanpa perlu apa-apa.
Lihat, aku bilang tidak mudah untuk mendeskripsikannya..
—
PS: Tulisan di atas tidak dimaksudkan sebagai ajakan atau penjualan konsep. Aku tidak menjual apa pun. Ini murni hanya berbagi cerita hidup.