Di Indonesia, biasanya anak laki-laki dididik dengan lebih keras agar tidak menjadi “cupu” atau “cemen” seperti yang dipandang oleh generasi sebelumnya. Mereka dianggap tidak boleh terbuka tentang perasaan atau masalah hidup mereka. Selain itu, ada stereotipe yang membagi-bagi bahwa pria selalu menggunakan logika sedangkan wanita selalu menggunakan perasaan. Hal ini membuat kaum pria terlihat tidak pantas atau tidak bisa memahami kehidupan orang lain.
Karena alasan ini, banyak ayah yang merasa malu untuk berbagi dengan anak laki-lakinya. Pola pikir ini membuat hubungan antara ayah dan anak laki-laki menjadi renggang, baik secara sadar maupun tidak sadar. Alih-alih mendengarkan atau mencoba memahami perjuangan anaknya sehari-hari, ayah seringkali memberikan nasihat instan seperti “jangan terlalu banyak mengeluh, kamu itu laki-laki!” atau “laki-laki tidak boleh cemen!”. Meskipun niatnya mungkin baik dan umumnya bagus, namun tidak selalu tepat karena akibatnya anak jarang atau bahkan enggan berbagi cerita kepada orangtuanya, terutama ayahnya.
Sangat disayangkan, meskipun diam-diam di luar sana, anak laki-lakinya justru lebih nyaman berbagi cerita dan terbuka kepada orang lain seperti sahabatnya yang mungkin lebih bisa mendengarkan dan memahami situasi yang sedang dirasakan. Sebagai orang tua, bukannya membentuk seorang “pria sejati”, Anda justru mungkin membentuk seseorang yang tidak bisa saling memahami atau saling mendukung seperti keluarga sebenarnya. Jadi jangan heran jika di luar sana banyak anak, terutama yang sudah berkeluarga, enggan berkumpul atau bahkan tidak merawat orangtuanya, karena sejak kecil tidak pernah diajak berkomunikasi secara efektif.
Stigma kuno bahwa anak laki-laki itu lemah dan pengecut hanya karena mereka berbagi perasaan mereka kepada ayah mereka adalah tidak benar. Orang tua, baik ayah maupun ibu, seharusnya memiliki komunikasi dua arah dengan anak-anak mereka agar hubungan semakin dekat, baik itu anak laki-laki maupun perempuan. Jadi, kuncinya adalah komunikasi dua arah.