Pada tahun 2019, jumlah penduduk asli Taiwan tercatat sebanyak 569.000 orang, atau sekitar 2,38% dari total populasi Taiwan. Ini menunjukkan adanya pertumbuhan jumlah penduduk asli dibandingkan dengan data tahun 1650 dari VOC yang hanya mencatat sekitar 68.600 orang.
Penduduk asli Taiwan adalah bagian dari kelompok Austronesia, yang migrasi ke pulau-pulau di Pasifik, termasuk Indonesia, sekitar 4000 tahun yang lalu. Misalnya, suku Jawa adalah bagian dari keluarga Austronesia.
Taiwan memiliki sejarah kolonialisasi yang berbeda dari negara-negara Asia lainnya. Berbeda dengan Filipina, yang dijajah Spanyol dari 1565 hingga 1898, atau Nusantara yang dijajah Belanda dari 1595 hingga 1941, Taiwan mengalami nasib berbeda karena intervensi Cina yang memilih jalur perang untuk membebaskan Taiwan dari penjajahan.
Taiwan menjadi koloni Spanyol di utara pulau tersebut dari 1626 hingga 1642, di daerah yang kini dikenal sebagai Keelung. Warisan Spanyol masih dapat dilihat dari nama Formosa, yang berarti “pulau yang indah,” dan nama Penghu, yang berarti “nelayan.” Nama-nama ini masih digunakan dalam dokumen resmi internasional seperti Deklarasi Kairo 1943 dan Deklarasi Potsdam 1945.
Belanda tiba di Taiwan pada 1622 setelah gagal merebut Macau dari Portugis. Mereka mendarat di Penghu dan membangun benteng di Fengui Shetoushan, Makung, namun menghadapi perlawanan dari penduduk asli yang mengakibatkan kematian sekitar 1500 orang. Konflik ini memicu permusuhan dengan Belanda.
Belanda berusaha untuk memonopoli perdagangan dengan China dan Jepang, tetapi mengalami penolakan keras dari pemerintah China di bawah Dinasti Ming. Akibatnya, perang antara China dan Belanda berlangsung dari 1622 hingga 1661. Belanda akhirnya dipaksa mundur setelah pertempuran yang sengit di Penghu.
Pada tahun 1624, Belanda kembali mendarat di Tainan, Taiwan, dan membangun Fort Zeelandia di Anping, memulai upaya untuk menguasai Taiwan dan mengusir Spanyol. Meskipun Belanda mencoba menyerang benteng Spanyol Santo Domingo di Tamsui pada tahun 1630, mereka gagal dan dipukul mundur.
Belanda melancarkan serangan ulang pada tahun 1641, ketika Spanyol sedang sibuk menghadapi perlawanan di Filipina, sehingga benteng Santo Domingo di Taiwan tidak terjaga karena pasukannya ditarik ke Filipina. Dengan mudah, Belanda mengambil alih Formosa, koloni Spanyol, dan menguasai Taiwan selama dua dekade berikutnya.
Setelah menguasai Taiwan, Belanda membentuk pemerintahan baru yang disebut Pemerintahan Formosa (Gouverneur van Formosa), dengan Martinus Sonck sebagai gubernur pertama. Mereka menerapkan kebijakan konversi agama terhadap penduduk asli dan komunitas China Han yang tinggal di pantai-pantai, dengan mendatangkan para misionaris.
Komunitas China Han umumnya merespons kebijakan konversi ini dengan sikap dingin, tidak peduli, atau mengabaikan upaya tersebut. Sikap ini sering disalahartikan oleh Belanda sebagai ketidakberatan, sehingga mereka tidak melihatnya sebagai penolakan aktif.
Sebaliknya, bagi penduduk asli Taiwan, konversi ke agama Kristen dianggap sebagai ancaman serius, yang menyebabkan perlawanan bersenjata. Salah satu insiden terbesar adalah pembunuhan sekelompok misionaris Belanda oleh penduduk asli, karena mereka dianggap menghina keyakinan dan menodai lokasi suci.
Balasan Belanda berupa operasi militer menyebabkan banyak korban di kalangan penduduk asli. Misalnya, seluruh penduduk asli di pulau Liuqiu, yang kini dikenal sebagai Xiaoliuqiu, dibantai oleh tentara Belanda di bawah pimpinan Francois Caron pada tahun 1642.
Ada asumsi bahwa penduduk asli Taiwan mengalami nasib yang serupa dengan penduduk asli Nusantara di bawah VOC, yaitu depopulasi akibat pembantaian dan perbudakan. Karl Marx adalah salah satu ilmuwan sosial Eropa pertama yang mengkritik kekejaman VOC di Nusantara. Marx mencatat bahwa VOC menyebabkan kerusakan dan depopulasi parah di kepulauan Nusantara, contohnya kebijakan Jan Pieterzoon Coen di Kepulauan Banda, yang mengakibatkan penurunan populasi dari 15.000 orang pada tahun 1609 menjadi hanya 1.000 orang pada tahun 1621.
Perbudakan yang dialami oleh penduduk asli Nusantara mirip dengan perbudakan di Afrika, di mana orang-orang yang diculik dimasukkan ke penjara khusus dan kemudian diangkut dengan kapal untuk dijadikan budak di perkebunan-perkebunan kolonial Belanda.
Dengan demikian, kekayaan Belanda tidak hanya berasal dari keuntungan rempah-rempah yang mencapai 500%, seperti yang sering diajarkan di sekolah, tetapi juga dari perdagangan budak. Dalam *Das Kapital*, volume I, Marx menulis:
“Tidak ada yang lebih mencirikan sistem Belanda daripada pencurian orang untuk mendapatkan budak dari Jawa. Para pencuri manusia dilatih khusus untuk tujuan ini. Pencuri, penerjemah, dan penjual adalah agen utama dalam perdagangan ini, dengan pangeran-pangeran lokal sebagai penjual utama. Para pemuda yang diculik dibuang ke penjara rahasia hingga siap dikirim ke kapal budak.”
“Macassar penuh dengan penjara, satu lebih mengerikan dari yang lain, dipenuhi oleh orang-orang malang, korban keserakahan dan tirani yang terbelenggu dalam rantai, secara paksa terpisah dari keluarga mereka.”
“Dimanapun Belanda menginjakkan kaki, kehancuran dan depopulasi mengikuti. Banjuwangi, sebuah kota di Jawa timur, pada tahun 1750 memiliki lebih dari 80.000 penduduk, tetapi pada tahun 1811 hanya tinggal 18.000…”
Kemungkinan besar, nasib penduduk asli Taiwan sejalan dengan nasib penduduk asli Nusantara. Mereka yang melawan dihabisi, sedangkan yang menyerah diperbudak untuk memenuhi kebutuhan koloni VOC atau dijual di pasar budak.
Meskipun terdapat beberapa perlawanan sporadis dari penduduk asli, seperti insiden Hamada Yahei pada tahun 1648 di mana 20 tentara Belanda dibunuh, sebagian besar perlawanan terbatas dan tidak dapat mengubah nasib mereka.
Penduduk asli yang selamat dari operasi militer biasanya adalah kelompok-kelompok kecil yang terdesak di pegunungan. Menurut data dari Gouverneur van Formosa yang tercatat dalam dokumen VOC tahun 1650, terdapat 315 desa penduduk asli dengan total populasi sekitar 68.600 orang.
Sementara itu, komunitas China Han yang tinggal di kota-kota pesisir jauh lebih beruntung. Meskipun Belanda memiliki konflik dengan pemerintah China dan komunitas Han tidak bersahabat dengan Belanda, Belanda sangat membutuhkan mereka untuk mengembangkan industri, perkebunan, dan perdagangan Taiwan. Kebijakan Belanda mendatangkan pekerja China Han, terutama dari kelompok Hokkien, memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi Taiwan.
Namun, tindakan Belanda untuk menguasai Selat Taiwan dengan memungut “pajak” dari kapal-kapal dagang milik pengusaha China di Fujian memicu kemarahan Gubernur Fujian. Dalam suratnya ke Beijing, Gubernur Fujian meminta bantuan untuk operasi militer guna membersihkan Selat Taiwan dari “bajak laut barbar yang berambut pirang.”
Pada tahun 1643, Admiral Zheng Zhilong (鄭芝龍) menyisir Selat Taiwan dan menemukan armada Admiral Hans Putmans berlabuh di teluk Liaoluo. Zheng Zhilong melihat ada 8 kapal Belanda dan sekitar 30 kapal bajak laut.
Serangan Zheng Zhilong pada armada Belanda di Teluk Liaoluo merupakan pukulan berat bagi VOC. Zheng memerintahkan fokus serangan pada delapan kapal Belanda—Broeckerhaven, Slooterdijck, Wieringen, Perdam, Zeeburg, Koudekerke, Zalm, dan Bleiswijk—sementara mengabaikan para bajak laut lokal. Pertempuran sengit itu mengakibatkan kedelapan kapal Belanda terbakar, tenggelam, atau mengalami kerusakan parah. Ini menandai kerugian besar bagi VOC, memaksa Admiral Hans Putmans untuk melarikan diri dan kembali ke Batavia. Kemenangan armada Ming di Liaoluo tidak hanya menghentikan ambisi VOC untuk menguasai Selat Taiwan, tetapi juga membatasi gerakan VOC di Asia Timur.
Setelah kekalahan ini, Gubernur Jenderal di Batavia saat itu, Hendrik Brouwer, mengeluarkan perintah untuk menghindari seluruh pelabuhan di China. Kemenangan di Liaoluo memperkuat kewibawaan Dinasti Ming dalam menjaga kedaulatan mereka di Laut China Timur dan Selatan, yang kemudian dipertahankan hingga hari ini.
Namun, penyerangan mematikan dari Dinasti Ming baru terjadi pada tahun 1661. Pada saat itu, armada Ming yang terdiri dari sekitar 200 kapal dan 10.000 tentara, dipimpin oleh Zhèng Chénggōng (鄭成功), juga dikenal di Barat sebagai Koxinga, mendarat di Tainan untuk menyerbu Fort Zeelandia. Zhèng Chénggōng adalah putra dari Admiral Zheng Zhilong dan dikenal sebagai Prince of Yanping.
Jatuhnya Fort Zeelandia menandai akhir kekuasaan Belanda di Taiwan. Zhèng Chénggōng diterima dan didukung sepenuhnya oleh penduduk asli Taiwan yang melihat kesempatan ini sebagai balas dendam terhadap Belanda. Penduduk asli dan komunitas China Han yang menetap di Taiwan bergabung untuk menyerbu Fort Zeelandia bersama pasukan Ming.
Dalam artikel oleh Miles Bryan, diceritakan bahwa saat Jenderal Thomas Pedel beserta pasukannya keluar dari benteng Zeelandia untuk menghadapi Zhèng Chénggōng, mereka dihadapi oleh pasukan gabungan dari penduduk asli Taiwan dan komunitas China Han. Mereka adalah pihak yang berjuang melawan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Pedel. Penyerbuan ini menunjukkan kolaborasi antara penduduk asli dan pendatang Han dalam melawan penjajah Belanda, menandakan perubahan besar dalam dinamika kekuasaan di Taiwan.
Jatuhnya Fort Zeelandia pada tahun 1661 adalah salah satu momen penting dalam sejarah Taiwan dan kolonialisasi Eropa di Asia. Setelah pengepungan yang intens oleh armada Zhèng Chénggōng (鄭成功) dan pasukan penduduk asli Taiwan, VOC Belanda mengalami kekalahan besar. Tentara Belanda, yang sebelumnya terkenal dengan teknologi dan kekuatan militernya, terpaksa menyerah setelah kehabisan amunisi, makanan, air, dan obat-obatan. Blokade total yang dilakukan oleh armada Zhèng Chénggōng, termasuk pemusnahan atau perampasan kapal-kapal yang membawa bantuan dari Dejima, koloni Belanda di Jepang, menyulitkan pasokan logistik dan mempercepat kekalahan Belanda.
Kekalahan ini mengejutkan Belanda karena mereka menganggap diri mereka sebagai kekuatan dominan di Asia Timur, dengan keunggulan teknologi militer. Kekalahan ini mengikuti serangkaian kekalahan lainnya di Xiamen (1622), Penghu (1623), dan Liaoluo (1643), serta menunjukkan bahwa meskipun Belanda memiliki kekuatan teknologi yang unggul, mereka tidak dapat sepenuhnya menguasai wilayah Asia yang kompleks dan dinamis.
Setelah kehilangan Taiwan, koloni-koloni Belanda lainnya mulai runtuh satu per satu. Koloni di Brasil jatuh pada tahun 1654 setelah kekalahan melawan Portugis. New Netherlands di Amerika, yang mencakup wilayah sekarang seperti New York dan New Jersey, direbut oleh Inggris pada 29 September 1664. Koloni di Afrika Selatan, India, dan Sri Lanka juga jatuh ke tangan Inggris melalui perjanjian Anglo-Dutch. Dejima, koloni Belanda di Jepang, ditinggalkan pada tahun 1858, dan Malacca lepas pada tahun 1825. Kepulauan Nusantara, yang merupakan koloni Belanda terlama, akhirnya merdeka pada tahun 1941 melalui perundingan yang rumit dan panjang, seringkali dipengaruhi oleh campur tangan AS.
Kemenangan Zhèng Chénggōng membawa perubahan besar di Taiwan. Dengan mendirikan Kerajaan Maritim Tungning (東寧國), dinasti Zheng, Taiwan memasuki periode damai dengan pertumbuhan masyarakat China Han yang dominan dan sinifikasi budaya yang mendalam. Meskipun pada akhirnya kerajaan Tungning dikalahkan oleh dinasti Qing pada tahun 1683, Taiwan diubah statusnya menjadi sebuah provinsi Tiongkok dan tetap dipertahankan sebagai bagian dari Tiongkok hingga hari ini. Meskipun ada konflik antara Republik China (ROC) dan Republik Rakyat Tiongkok (PRC), kesepakatan bersama menyatakan bahwa Taiwan adalah provinsi dari Tiongkok, yang menjelaskan mengapa Selat Taiwan relatif damai meskipun ada ketegangan politik.
Pada masa penjajahan Jepang, Taiwan mengalami perubahan signifikan di bawah pemerintahan kolonial Jepang. Jepang mengklasifikasikan penduduk Taiwan sebagai berbudaya, semi-berbudaya, dan tidak berbudaya, dengan penduduk asli yang tinggal di pegunungan dianggap tidak berbudaya dan tidak memiliki hak atas tanah. Hal ini menyebabkan konflik berulang antara penduduk asli dan pemerintah kolonial Jepang, termasuk Perang Truku pada tahun 1941 yang melibatkan sengketa tanah dan monopoli produk hutan.
Perubahan yang terjadi di Taiwan selama periode ini mencerminkan dinamika kompleks antara kekuatan kolonial, penduduk asli, dan migran China Han, yang membentuk fondasi sejarah dan budaya pulau tersebut hingga saat ini.
Perang Truku yang terjadi pada awal abad ke-20 merupakan salah satu episode penting dalam sejarah konflik antara Jepang dan penduduk asli Taiwan. Ketika Jepang mengerahkan 20.000 tentara di bawah komando Gubernur Jenderal Sakuma Samata untuk melawan komunitas Truku, yang terdiri dari 35 desa dengan populasi sekitar 15.000 orang, pertempuran berlangsung sengit. Meskipun pejuang Truku melawan dengan gigih, mengakibatkan sekitar 2.300 tentara Jepang gugur dan luka-luka, termasuk Gubernur Jenderal Sakuma Samata yang mengalami luka serius, akhirnya mereka harus mengakui keunggulan Jepang. Konflik ini menandai salah satu episode berdarah dalam periode penjajahan Jepang, yang mengakibatkan sekitar 50.000 jiwa pribumi Taiwan menjadi korban.
Setelah Perang Dunia II, pada bulan Oktober 1945, Taiwan dikembalikan oleh Jepang kepada Republik China. Namun, pemerintahan Republik China menghadapi masalah serius dengan penduduk asli Taiwan, terutama terkait dengan monopoli penjualan tembakau. Konflik yang terjadi pada tahun 1947, dikenal sebagai Insiden 228, melibatkan demonstrasi yang menjadi rusuh dan penanganan secara militer yang menyebabkan sekitar 28.000 jiwa pribumi Taiwan melayang.
Pada tanggal 1 Agustus 2016, Presiden Tsai Ing-wen secara resmi meminta maaf kepada penduduk asli Taiwan atas kekejaman dan ketidakadilan yang mereka alami, serta berjanji untuk mengambil langkah konkret dalam memperbaiki sejarah ketidakadilan yang terjadi. Permintaan maaf tersebut merupakan bagian dari upaya untuk menghadapi masa lalu dan mengakhiri “pain and mistreatment” yang dialami oleh penduduk asli Taiwan.
Warisan Belanda di Taiwan, terutama dalam bentuk benteng kuno yang menjadi obyek wisata, masih dapat dirasakan hingga hari ini. Namun, warisan tersebut juga mencerminkan perubahan besar dalam keseimbangan populasi Taiwan, dari sebuah pulau yang dulunya didominasi oleh komunitas penduduk asli menjadi pulau dengan komunitas China Han yang dominan. Kehadiran Kerajaan Tungning dan dinasti Qing memperkuat dan memperdalam proses ini.
Perjalanan sejarah Taiwan yang panjang, menyakitkan, dan berdarah memberikan pelajaran penting tentang dampak kolonialisme, penjajahan, dan konflik etnis. Di bawah pemerintah Taipei saat ini, diharapkan penduduk Taiwan, termasuk penduduk asli, dapat hidup dengan tenang, aman, dan sejahtera, serta mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang bersama sebagai warga Taiwan yang setara.