Jawaban ini merupakan analisis sementara sebelum kemenkes mempublikasi hasil penelitian resmi yang akan dikeluarkan minggu depan (di atas tanggal 24/10/22).
Update tanggal 21 Oktober 2022 sesuai dengan update Kemenkes: PEG ditambahkan sebagai sumber kontaminan; penjelasan tentang bagaimana kristal kalsium oksalat membahayakan ginjal; dan analisis alasan produsen menggunakan PEG dalam sirup.
Pembaharuan 22 Oktober 2022 sesuai dengan webinar “pembahasan kupas tuntas kasus gagal ginjal akut pada anak dan dugaan sirup obat sebagai penyebabnya” oleh fakultas farmasi UGM dan PD IAI DIY (penambahan sorbitol dan sorbitol crystalline sebagai sumber suspek kontaminan; pemasukkan dry syrup sebagai kategori mungkin tercemar)
Tanggal Selasa 18 Oktober 2022, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan surat pengumuman yang mengejutkan tenaga medis di seluruh Indonesia. Sebenarnya, isinya secara umum cukup wajar, yaitu permintaan agar tenaga kesehatan bekerja sama dalam melaporkan kasus gangguan ginjal akut atipikal yang terjadi di tempat praktek mereka, sehingga data dapat dikumpulkan secara epidemiologis. Tentu saja hal ini adalah sesuatu yang baik, normal, dan penting bagi pekerjaan medis; menangani masalah kesehatan yang berkembang di masyarakat, mencoba membuat hal-hal yang tidak biasa menjadi normal; dan benar-benar mengungkap alasan di balik gangguan ginjal ini. niat luhur untuk nyawa yang telah melayang dan upaya bakti untuk mereka yang berdoa agar Tuhan memungkinkan keluarga mereka kembali.
Pelarangan bagi tenaga kesehatan untuk meresepkan sediaan cair dalam segala bentuk (sirup, dry syrup, emulsi, suspensi, paediatric oral drops) hingga pemberitahuan lebih lanjut.
Termasuk di dalamnya larangan bagi apotek dan toko obat untuk menjual obat bebas/obat bebas terbatas dalam bentuk sirup sampai kemenkes mempublikasi hasil penelitian resmi yang akan dikeluarkan minggu depan (di atas tanggal 24/10/22)
Tentu saja hal ini menggegerkan karena berarti sirup yang dikonsumsi selama ini ternyata beracun.
Bagaimana kebenarannya?
Untuk menelusuri kebenaran ini, kita akan membahas beberapa poin penting:
- Apa itu gangguan ginjal akut progresif atipikal?
- Tragedi Gambia
- Mengenal obat dan bahan tambahan obat
- Memahami alur produksi dan distribusi obat dan bahan baku obat
- Kesimpulan sementara di lapangan.
.
- Apa itu gangguan ginjal akut progresif atipikal?
Ini adalah kasus di mana fungsi ginjal menurun secara tiba-tiba dan terjadi dalam 7 hari. Ini ditandai dengan penurunan jumlah urin yang signifikan dan peningkatan serum kreatinin yang signifikan.
Dengan kata lain, ginjalnya rusak tanpa alasan sebelumnya. Penurunan fungsi ginjal seperti ini biasanya disebabkan oleh penyakit bawaan seperti gangguan ginjal kronis pada orang normal.
Apa efeknya?
Tentu saja kematian. Kematian akibat gangguan ginjal akut bisa mencapai 20%
[1]
(pada anak-anak yang sudah masuk ke Rumah Sakit kemarin, kematian mencapai 55%).
Mereka-mereka yang beruntung (atau mungkin tidak beruntung?) terpaksa hidup dengan fungsi ginjal yang terbatas dan harus rutin melakukan dialisis/cuci darah.
Kondisi ini sudah berlangsung cukup lama, kemenkes mengatakan kejadiannya meningkat signifkan mulai sejak Agustus kemarin terutama pada anak usia 1–5 tahun. Awalnya diduga hal ini diakibatkan oleh infeksi bakteri, infeksi virus, kemudian ada teori ini diakibatkan oleh covid kemarin, long Covid, postulat bahwa ini efek samping vaksin, makanan-minuman terproses tinggi, a, b, c selintang-selajur kemungkinan-kemungkinan yang mungkin dan dikira mungkin.
Namun, sebelum dapat diterima sebagai ketersebaban, kemungkinannya harus diuji, dipantengi, dikritik, dan dicaci maki. Sangat tidak menyenangkan untuk memperkirakan nyawa dan masa depan dalam ruang lingkup “katanya” dan “dari yang aku denger nih”. Jika hanya hipotesis yang tidak didukung oleh bukti, ia bahkan tidak memiliki hak untuk menjadi subjek kontroversi. Testimoni dari teman-teman pembaca. Bukti: Ketersebaban harus didukung oleh bukti. Sayangnya, bukti yang dicari sejak Agustus itu tidak jelas, tidak jelas, dan tidak dapat dilihat. Ternyata, kerusakan ginjal pada anak-anak kami disebabkan oleh obat-obatan yang telah digunakan untuk menyembuhkan sebelum Leeuwenhoek dan Janssen? Ini sepertinya mengabaikan alam mikrobiologi.
Tak masuk akal…
Namun, sekonyong-konyong, setiba-tiba prekonsepsi itu dirobek, ditusuk, oleh letusan nan teriakan orangtua anak-anak Gambia, dari laporan WHO serta seluruh otoritas-keahliannya, dari staff kementrian kesehatan, terbelalak dari klinisi RSCM peluh-keringat meremas kertas tes patologis yang hasilnya nihil, dari analis puslabfor, berbondong-bondong mengulik sampel obat rak demi rak, blister demi blister, botol demi botol.
Minim namun dengan tebasan pedang setajam doa orang-orang teraniaya. Satu moderator, satu teknisi, dokter ahli, dan kamera yang agak terlalu melencong ke atas, keputusan kemenkes turun bagai titah. Sang dokter ahli tersenyum, mata beliau menerawang; beliau bercerita akan tragedi Gambia.
2. Tragedi Gambia
Pada awal september 2022, otoritas kesehatan Gambia menyelidiki kemungkinan terjadinya gangguan ginjal akut progresif atipikal yang terjadi di Gambia. Sama seperti di Indonesia, korban merupakan anak-anak, tapi, berbeda dengan Indonesia, mereka mungkin diberkati oleh epidemiolog yang matanya lebih tajam, diberkati oleh toksikolog berinsting tinggi, atau mungkin jawabannya lebih sederhana, mungkin mereka sadar bahwa bisnis obat-obatan di benua mereka adalah bisnis kotor dengan taruhan nyawa, dimana importir tidak peduli dengan keaslian obat.
Tablet metformin diganti dengan talcum dan pasien diabetes harus melihat lukanya berubah menjadi gangrene. Disana ada seorang apoteker dengan lebih dari sembilan ratus piagam penghargaan pemerintah dan lembaga internasional atas kontribusi mulianya menurunkan peredaran obat palsu yang mencapai 90% pada awal ia menjabat menjadi 5–10% saja harus menerima bahwa suaminya dibunuh-keji para pebisnis yang membenci perjuangannya. Dan itu setelah ia sendiri terkena kanker stadium akhir .
[2]
Saya menduga di Afrika, di Gambia tidak ada prekonsepsi kebaikan industri farmasi dan welas asih tenaga kesehatan, menyedihkan, tapi kondisi tersebut membantu dunia untuk tiba pada si jawaban:
Adanya cemaran di sirup obat batuk, pilek, dan demam yang mengandung parasetamol.
Sirup-sirup ini diselidiki karena dokter Gambia menyadari bahwa peningkatan kasus terjadi paling banyak pada pasien anak-anak kurang dari 5 tahun setelah mengkonsumsi sirup parasetamol lokal
[4]
Berdasarkan hasil penyelidikan, didapatkan bahwa obat batuk, pilek, dan demam yang mengandung parasetamol tadi, ternyata mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Mengandung diluar ambang batas keberterimaan.
Poin ini merupakan kunci. EG dan DEG diketahui dapat menyebabkan gangguan ginjal akut. Di mana EG dimetabolisme oleh tubuh menjadi asam glikolat, asam oksiglikolat, dan asam oksalat. Penumpukan asam glikolat dan asam oksalat inilah yang menyebabkan terjadinya keracunan. Asam glikolat akan menyebabkan asidosis metabolik dan penghambatan respirasi seluler sementara asam oksalat akan bereaksi dengan kalsium membentuk kristal kalsium oksalat yang menumpuk di ginjal.
Inilah kristal kalsium oksalat yang bertanggung jawab atas penurunan fungsi ginjal. Kenapa? Karena bentuknya cenderung memiliki sisi-sisi yang tajam, sisi-sisi yang tajam inilah yang akan merusak jaringan ginjal. Ia akan menutup tubular renal, menghentikan urin keluar. Ini menghentikan tubuh untuk mengeluarkan racun yang biasanya dapat dibuang.
Contoh morfologi kristal asam oksalat
[5]
Pertanyannya tentu saja, bagaimana bisa ada EG/DEG di sirup kalau sudah jelas-jelas beracun?
Inilah pentingnya belajar sejarah, sebenarnya tragedi sirup parasetamol beracun berakibat gangguan ginjal akut ini bukan pertama kali terjadi. Dari tahun 1937–2022, tercatat sudah ada 16 kejadian berskala besar yang diakibatkan oleh hal yang sama — kontaminasi EG dan DEG pada sirup obat batuk. Enam belas kali terjadi dan enam belas kali terulang. Dunia belum juga belajar. Jika ia belajar, anda-anda sekalian tidak akan membaca artikel ini, artikel ini akan menjadi geleng-geleng kepala ulah manusia tempoe doeloe seperti jam tangan yang dicat dengan radium.
Jadi dari mana EG/DEG ini?
3. Mengenal obat dan bahan tambahan obat.
Dalam pembuatan obat dikenal dua jenis bahan: bahan pertama adalah zat aktif, atau istilah industrinya, active pharmaceutical ingredients (API). API inilah yang memberikan efek dari suatu obat. Jika untuk sakit demam maka API nya adalah parasetamol, untuk darah tinggi API nya amlodipine, untuk anti nyeri sodium diklofenak.
Namun selain API tadi ada bahan kedua — bahan tambahan atau istilahnya eksipien. Bahan inilah yang memfasilitasi agar API bisa diproduksi dan dikonsumsi. Contoh mudahnya amlodipine tadi. Untuk pasien hipertensi ringan, amlodipine yang digunakan biasanya dimulai dari dosis 5 mg. Dan mungkin anda tidak begitu sadar, namun 5 mg itu kecil — kecil sekali. Tidak ada seujung sendok. Seandainya hanya API nya saja yang dibuat tablet mungkin baru buka blisternya, obatnya sudah hilang tertiup angin. Contoh lain adalah obat batuk asetilsistein, jika dikonsumsi versi generiknya (tanpa bahan tambahan yang adekuat) anda dapat mengecap baunya yang tanpa ragu dapat tercium jelas oleh pasien anosmi. Jika batuk si pasien disertai mual-muntah, dapat dipastikan si pasien akan mual muntah saat itu juga.
Secara garis besar, bahan tambahan obat terdiri dari
- pengisi (supaya obat punya ukuran yang mudah diminum)
- pemberi rasa (pemanis)
- pengawet (supaya awet)
- pelarut (supaya obatnya bisa larut dalam sediaan)
Ada banyak jenis tambahan obat lain seperti disintegran (supaya tablet hancur di lambung), lubriken (supaya tablet dapat dikempa pada proses produksi), dan lain sebagainya, namun dalam kasus ini kita akan berfokus pada bahan tambahan yang relevan saja: gliserin dan PEG (polietilenglikol)
Gliserin, juga dikenal sebagai gliserol, digunakan dalam sirup untuk dua tujuan utama. Pertama, ia digunakan sebagai pemanis (karena rasanya manis) dan kedua, ia digunakan untuk menambah rasa lembut yang diberikan obat batuk. Jika Anda pernah minum obat batuk dan kerongkongan anda menjadi cair dan nyaman, itu karena gliserin.
Sementara itu PEG berfungsi sebagai kosolven atau ko-pelarut pada sirup, khususnya sirup parasetamol. Kosolven adalah pelarut tambahan yang ditambahkan untuk mendampingi pelarut utama. Tujuan umumnya untuk meningkatkan kelarutan. PEG ini dipilih dikarenakan oleh sifat parasetamol yang sulit larut di dalam pelarut utamanya: air.
Kelarutan parasetamol dalam air sangatlah rendah. 1:70. Artinya untuk melarutkan 1 bagian paracetamol dibutuhkan 70 bagian air. Bisa dibayangkan pasien anak yang butuh meminum obat parasetamol akan kembung duluan jika pelarut yang digunakan oleh pabrikan hanya berupa air.
Sebenarnya ada pelarut lain yang relatif lebih aman; alkohol (etanol). Kelarutan parasetamol dalam alkohol adalah 1:7. Sepuluh kali lipat dibanding kelarutan paracetamol dalam air. Namun dikarenakan tren meningkatnya kesadaran masyarakat atas kandungan alkohol dalam sirup (isu halal dan kebutuhan ibu hamil mengkonsumsi sirup), walau sebenarnya secara kuantitas, obat yang diformulasikan dengan alkohol tidak akan menyebabkan kerusakan pada janin ataupun bersifat memabukkan apabila diminum dalam dosis yang dianjurkan, produsen memilih untuk mengganti (melakukan phase out) formula mereka untuk menenangkan hati konsumen. Dan konsekuensi logisnya tentu saja penggunaan pelarut lain yang juga aman: PEG. Kelarutan parasetamol dengan PEG 1:9.
Sayangnya PEG dan gliserin seringkali terkontaminasi oleh EG/DEG. Bahkan FDA (BPOM USA) memiliki panduan tersendiri Testing of Glycerine for Diethylene Glycol. Kalau begitu dengan banyaknya pengujian, mengapa hal ini bisa terjadi?
4. Mengenal alur produksi dan distribusi obat dan bahan baku obat
Mau tidak mau, suka tidak suka, yang namanya produk yang diperdagangkan pasti akan terikat dengan finansial — kepentingan finansial. Uang berkali-kali dan sekali lagi ternyata menjadi motif serta alasan kontaminasi DEG/EG pada PEG dan gliserin. Tentu saja aspek lain seperti keteledoran pabrikan, lemahnya kontrol regulator, dan tidak adanya produk hukum tidak bisa dinafikan begitu saja, namun kenyataannya, uang, dan sekali lagi uang, menjadi alasan utama.
Kalau kita menelusuri kembali dari tragedi yang terjadi di Gambia, DEG/EG digunakan secara sengaja karena harganya lebih murah daripada gliserin.
Tapi kan ada tes DEG yang udah dibuat sama FDA tadi. Kok masih kecolongan?
Industri obat di sebagian besar negara, termasuk di indonesia, merupakan industri obat hilir. Artinya mereka memesan bahan baku obat dari luar negeri kemudian memproduksi obat jadi di dalam negeri. Baca: industri obat hilir sangat tergantung dari ketersediaan bahan baku obat dari luar negeri.
Di sinilah letak permasalahannya. Pertama, yang namanya perusahaan selalu berusaha memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan biaya. Sehingga apabila tidak diatur oleh regulator, maka perusahaan tidak akan melakukan pengujian terhadap bahan baku meskipun ada kasus A, B, dan C yang sudah pernah mengenai bahan baku tersebut. Perusahaan cenderung akan melakukan hal kedua: menitip percaya.
Maksudnya?
Ketika perusahaan membeli obat dari suatu supplier, dan supplier sudah mengeluarkan certificate of analysis yang menyatakan bahwa bahan baku obat x adalah bahan baku obat x, perusahaan paling kritispun cenderung hanya melakukan pengecekan apakah benar bahan baku obat x adalah bahan baku obat x. Perihal apakah bahan baku obat x itu terkontaminasi oleh kontaminan y, z, perusahaan tidak akan melakukan pengecekan, karena selain tesnya berbeda, biayanya mahal, regulator tidak mempersyaratkan, buat apa melakukan hal percuma yang tidak bisa ditambahkan sebagai pertambahan nilai pada produk akhir.
Laiknya hukum yang memberikan konsekuensi hanya setelah terjadi pelanggaran, certificate of analysis hanyalah merupakan pernyataan siapa yang bertanggung jawab apabila klaim dalam sertifikat tersebut terbukti salah.
CoA bukan kebenaran mutlak, hanya dokumen pertanggung jawaban.
Selain itu dari beberapa teman yang bekerja di industri saya mendengar bahwa dalam sistem pelarutan parasetamol dengan PEG untuk membentuk senyawa kompleks parasetamol-PEG harus dilakukan pada suhu 50 – 70 C. Di mana di bawah 50 derajat celcius parasetamol tidak akan terlarut, namun di atas 70 C PEG bisa terdegradasi (rusak) menjadi DEG dan EG.
Faktanya setelah kejadian di Gambia, BPOM baru melarang keberadaan EG dan DEG sebagai bahan baku pada sirup obat batuk
[6]
. Suatu kebijakan yang menurut saya secara pribadi mengkhawatirkan. Pertama karena berarti selama ini memang tidak ada pengujian DEG/EG di produk akhir dan/atau raw material. Dan kedua karena tentu saja tidak ada produsen yang secara sengaja mencampurkan DEG/EG sebagai bahan baku produk. Ini sama saja seperti produsen bedak bayi mengklaim mereka tidak menggunakan asbestos sebagai bahan baku. Tentu saja tidak. Asbestos itu cemaran, hal yang tidak diinginkan. Walau mungkin maksud pengumuman ini baik, menenangkan masyarakat agar tidak panik, menurut pribadi saya, pengumuman ini cenderung misleading.
Pembaharuan 22 oktober 2022: pengujian cemaran DEG/EG dilakukan. Namun hanya dilakukan pada tahap saat raw material diterima; tidak di produk akhir. Hal ini dikarenakan memang pengujian cemaran di produk akhir tidak dipersyaratkan regulator. Regulator hanya mengecek nilai keberterimaan API pada pengujian produk akhir.
5. Kesimpulan sementara di lapangan.
Hindari semua sediaan cair; sirup, sirup kering, emulsi, eliksir, tetes pediatrik, dan suspensi. Bagi yang selama ini suka menggunakan sediaan cair, dapat menggunakan obat dalam bentuk sediaan lain seperti tablet, kapsul, suppositoria. Sementara khusus untuk anak-anak yang tidak bisa menelan kapsul/tablet para orangtua mungkin untuk minggu ini sebaiknya pergi ke dokter walau sakitnya sederhana (flu, demam, batuk) sembari menunggu pengumuman dari pemerintah. Dokter dapat meresepkan obat racikan puyer yang lebih mudah diminum anak dibandingkan tablet yang sulit ditelan.
Mungkin ingatkan apotekernya jangan pelit pemanis equal-nya 🙂
Salam sehat.
Catatan Kaki
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5554175/
[2]
Explained | The Gambia deaths and the toxic cough syrups that are causing them
[4]
Gambia: Grief, fear and anger over deadly cough syrup | Africanews
[5]
Factors determining types and morphologies of calcium oxalate crystals: Molar concentrations, buffering, pH, stirring and temperature
[6]
BPOM Resmi Larang Dietilen dan Etilen Glikol jadi Bahan Obat Sirup