Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948 adalah deklarasi HAM yang disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia I dan II. Baik pemenang maupun pecundang, perang adalah bencana bagi manusia. Negara-negara telah membentuk Liga Bangsa-Bangsa (LBB) sebelum PBB, tetapi tidak berhasil mewujudkan perdamaian.
PBB baru dibentuk pada tahun 1945 menyadari bahwa salah satu faktor yang berkontribusi pada kegagalan LBB adalah tidak adanya pagar nilai kemanusiaan yang cukup. Oleh karena itu, PBB mengumumkan konsep hak asasi manusia pada Oktober 1948.
UDHR bercita-cita memberi pondasi dasar nilai-nilai kemanusiaan. Masalahnya adalah setiap negara memiliki standar nilai moral yang berbeda (catatan penting: Saya tidak hendak mengatakan bahwa etika/moral itu relatif. Yang ingin saya katakan di sini adalah nilai moral mutlak itu transendental atau melampaui dunia manusia dan sangat sulit dicapai. Akan tetapi, paling tidak nilai moral universal itu diusahakan untuk dicapai). Kesulitan dalam mencapai kata sepakat soal nilai moral universal ini menimbulkan beberapa kontroversi dalam penyusunan UDHR, di antaranya:
- Apa dasar hukum HAM? Apakah akal budi atau iman? Negara-negara yang berlandaskan ketuhanan pasti mengusulkan landasan iman. Namun, negara-negara sekular yang berlandaskan akal budi, seperti Perancis dan Uni Soviet, pasti tidak setuju dengan landasan iman ini. (Saya tidak dapat memahami bagaimana Uni Soviet yang didirikan oleh komunis dapat menyetujui landasan iman).
- Banyak negara dari Blok Timur menganggap UDHR terlalu individualistik. HAM dinilai justru melupakan nilai kebersamaan dan sosial karena setiap orang harus mengurusi hidupnya sendiri dan itu adalah haknya. Bagiku urusanku, bagimu urusanmu.
- Soal status legal dari UDHR, apakah UDHR hanya mengikat secara moral atau secara legal? Kalau hanya secara moral, berarti nilai-nilai HAM itu hanya dianjurkan, tanpa sanksi hukum jika melanggarnya. Kalau statusnya dinaikkan menjadi hukum positif legal, masalahnya adalah PBB tidak berwenang untuk itu karena PBB bukan lembaga di atas negara-negara dan selain itu juga masih ada kontroversi dalam UDHR seperti telah disebut di atas. Status legal UDHR baru dapat diberikan melalui International Covenant on Civil and Political Rights 1976, itu pun hanya sebagian artikel
Akibat dari kontroversi-kontroversi tersebut adalah:
- UDHR hanya dianggap anjuran moral yang tidak mengikat secara hukum. Jika UDHR dilanggar pun, tidak ada sanksi hukumnya.
- Beberapa negara tidak menandatangani UDHR. Negara yang menandatangani pun tidak semuanya meratifikasi dan mengimplementasikan ke dalam hukum nasional negara masing-masing
Di luar dari itu semua, negara yang setuju dan meratifikasi pun tidak sepenuhnya menjalankannya. Tentu saja ada negara yang ‘nakal’ yang melanggar HAM dengan berbagai intensi dan tujuan, misalnya kekuasaan, uang, dll.
Analogi sederhana ini, misalnya, adalah bahwa penduduk di salah satu RT mencapai kesepakatan untuk menghapus parkir mobil di pinggir jalan secara permanen. Orang yang memiliki mobil juga harus memiliki garasi, sehingga mobilnya dapat dibaret jika dilanggar. Orang-orang yang telah menggunakan jalan depan rumah mereka sebagai garasi pasti tidak setuju dengan ini. Meskipun ada ancaman hukuman, individu seperti ini mungkin tidak akan mengikuti aturan. Dengan demikian, banyak negara melanggar UDHR karena konteksnya adalah kesepakatan global, bukan RT tunggal. UDHR juga tidak memiliki ancaman hukuman.