Dari sisi agama.
Saya penganut agama Katolik, tetapi saya bukan orang religius. Saya termasuk kaum minoritas dari segi agama. Sebenarnya, ada banyak pengalaman yang menarik tentang menjadi orang minoritas.
Waktu magang
Rekan magang saya bilang bahwa saya pernah magang di salah satu stasiun TV Nasional (sengaja tidak menyebut namanya).
Jangan lupa untuk pergi ke gereja pada hari Minggu.
Meskipun rekan saya yang berhijab adalah Muslim, itu agak terharu.
Setelah itu, ada liputan yang dilakukan pada hari Minggu di stasiun televisi tempat saya magang. Saya sengaja tidak menyebut lokasinya.
“Kenapa tidak ke gereja?” adalah pertanyaan yang sering diajukan kepada saya.
Saya menanggapi dengan berkata, “Saya ke gereja kalau ga sabtu sore ya minggu sore. Ga terlalu suka ke gereja pagi hari.”
Ditempat tinggal.
Ini blak-blakan saja ya. Di tempat tinggal saya, yang beragama Katolik hanya saya, papa saya dan adik saya. Mama saya termasuk mayoritas karena ia Muslim.
Pada awalnya, banyak tetangga saya tidak tahu kalau kami bertiga adalah Katolik karena papa saya aktif sebagai RT. Dia sering melakukan kerja bakti dan nyumbang untuk orang yang meninggal. Jadi tetap aktif. Tetangga saya banyak yang bergosip buruk sejak papa saya menjadi anggota seks sosial gereja (PSE).
Baru sekarang mereka menyadari bahwa kami bertiga tidak termasuk dalam kelompok mereka. Keluarga kami berperinsip dan tidak suka membicarakan agama di depan umum, jadi kami tidak pernah berbicara tentang agama kami. Papa saya tidak hanya menjadi anggota PSE, tetapi juga mengisi waktu senggangnya untuk membantu orang-orang Katolik.
Ada tetangga saya si provokator bilang ke orang-orang bahwa jagan berteman dengan keluarga saya karena kita bukan satu golongan. Mama saya sih hanya ketawa saja.
Apalagi pas awal pandemi Covid 19, papa saya membawa beras sebanyak 10 Kg. Kata papa saya itu jatahnya karena papa saya sebagai anggota PSE yang sangat aktif. Jadi gereja memberikan beras sebagai bayaran atas dedikasi papa saya. Mama saya menyarankan kalau beras tersebut dibagikan ke tetangga sekitar. Pokoknya mama saya yang mengatur pembagian beras itu. Tiap kepala diberi 1 Kg beras. Lumayan kan? Eh, si provokator malah bilang ke orang-orang kalau kita bagi-bagi beras agar mereka bisa masuk Kristen. Konyol.
Lo mo masuk Kristen dan Katolik kudu belajar setaon dulu, Maemunah. Kalau tetat ampe tiga kali ya uda lo ngulang. Ga segampang entu masuk ke agame kite.
Tapi, untung ada ada beberapa tetangga yang waras tidak termakan hoax. Saking kesalnya sama si provokator, mama saya kalau bagi-bagi sembako, ia hanya membagikannya kepada tetangga yang benar-benar butuh saja.
“Mungkin karena dia pengen beras gratis kali? Mama sengaja ga kasih karena dia itu kan kaya.”
Ya si provokator ini punya mobil 2, motor 1 terus suaminya penghasilannya lumayan. Ngapain ngegaremin aer laut. Logikanya kalau mau bantu orang yang benar-benar butuh. Utamakan orang tua seperti tetangga depan tempat tinggal saya ada seorang nenek yang tinggal sendiri. Itu patut dibantu pertama kali.
2. Bahasa.
Walau orang tua saya orang Yogjakarta, saya sama sekali tidak bisa bahasa Jawa.
Di tempat kerja saya sekarang banyak banget orang Jawanya. Tiap sudut ada aja yang ngomong pakai bahasa Jawa. Saya mah selalu blak-blakan kalau saya ga paham bahasa Jawa walau sering diledek pakai bahasa Jawa.
Pernah, saya nanya bahasa Jawa yang saya tidak mengerti. Bukannya dijawab yang bener malah jawabannya ngawur.
Saya hanya berkata, “Ojo ngapusi aku to yo pak’e. Aku paham pak’e ngomong apa barusan,” sebagai tanggapan.Saya berbicara dalam bahasa Jawa dengan logat Jakarta yang jelas. Mungkin terdengar aneh.
Karena kecerobohan saya, rekan kerja saya tidak lagi berani memberi saya jawaban yang tidak masuk akal ketika saya bertanya apa artinya dalam bahasa Jawa.
Sekarang, saya bercanda dengan rekan kerja dalam bahasa Jawa dan Indonesia sesekali. Meskipun ada saat-saat ketika saya salah mengucapkan sesuatu, itu masih cukup untuk membuat bibir tersenyum, bukan?