Pernah sekali.
Dan ini bukan cerita karangan; kolega saya sendiri mengalaminya.
Sebagai contoh, kolega saya, Ismail, menikah dan memiliki dua anak. Dia menikah dengan wanita yang tidak terlalu menarik (sebut saja namanya Nana). Nana memiliki teman yang cantik bernama Riska, yang juga menikah, tetapi mereka tidak memiliki anak. Saya mendengar bahwa suaminya tidak mampu memberikan.
Singkatnya, cerita dimulai dengan Riska dan suaminya, Ismail. Ismail dan Riska bekerja sama di gedung perkantoran, jadi Nana sering menitipkan makanan dari hasil masakannya atau pemberian dari temannya yang lain kepada Riska. Mereka harus sering bertemu.
Hingga pada akhirnya, benih-benih cinta diantara Ismail dan Riska terjadi. Dan parahnya, mereka akhirnya berhubungan badan. Gak cuma sekali, tapi beberapa kali yang menyebabkan Riska hamil.
Tak ada jalan lain, mereka berdua harus jujur pada pasangan masing-masing. Riska yang udah terlanjur cinta pada Ismail, senang kalau dia bisa hamil. Tapi suami Riska tentu saja tak terima dengan keadaan ini. Keributan terjadi antara Ismail dan suami Riska di kantor Ismail. Begitu pula antara Ismail dan Nana serita Nana dan Riska. Hubungan persahabatan mereka kacau balau. Masing-masing korban (dalam hal ini suami Riska serta Nana) menuntut cerai pada pasangan masing-masing. Dan dengan ‘senang hati’ dikabulkan oleh Ismail dan Riska.
Riska dan Ismail pada akhirnya menikah, memiliki anak laki-laki pertama. Mereka juga memiliki tiga anak lainnya. Hidup dengan bahagia hingga hari ini, dan karir Ismail terus berkembang. Rika menjadi ibu rumah tangga religius karena dia sudah tidak bekerja lagi. Kami mengambil pelajaran darinya. Mungkin dia sudah bertobat dan melupakan masa lalunya yang buruk.
Bagaimana Nana? Nana memutuskan pertemanan mereka dengan Riska karena dia sangat membencinya.
Tidak jelas apa yang terjadi jika kebahagiaan didasarkan pada kesedihan orang lain. Ini bisa menjadi contohnya.