Sampai hari ini, orang sering berselisih tentang topik reinkarnasi dan kehidupan manusia di masa lalu. Banyak dari kita bertanya-tanya. Apakah ada reinkarnasi? Apakah ada kehidupan sebelumnya sebelum kehidupan saat ini? Ke mana jiwa kita akan pergi setelah kita meninggal?
Aku tidak memaksakan atau mengatakan apakah reinkarnasi itu benar adanya, atau apakah kehidupan-kehidupan masa lampau sebelum kehidupan yang kita jalani saat ini ada atau tidak. Aku hanya ingin membagikan cerita tentang apa yang telah diperlihatkan kepada kami, tentang apa yang sudah kami alami, dan juga, tentang seperti apa pemahaman yang sudah diberikan kepada kami di dalam perjalanan spiritual kami sampai saat ini.
Beberapa waktu berselang ketika kami diperlihatkan apa sebenarnya yang terjadi pada roh kami, mengenai bagaimana roh kami dipecah menjadi dua bagian yang tidak sama besar, dimana yang satu lebih kecil daripada yang lain, kami juga diberi penglihatan tentang kehidupan-kehidupan masa lampau kami.
Biasanya, setiap malam hari sebelum tidur, ketika aku merebahkan diriku di atas tempat tidur, dia juga melakukan hal yang sama. Energi yang terhubung di antara kami membuat kami kesulitan untuk tidak melakukan hal yang serupa dengan apa yang dilakukan pasangan kami. Jika aku bersandar, dia juga harus bersandar. Jika aku berbaring, dia juga harus ikut. Dan jika aku sedang melakukan aktivitas harian, dia harus duduk tegak.
Kenapa seperti itu?
karena energiku berfungsi sebagai penghubung antara kami dan membantu hidupnya. Energikulah yang memberinya akses ke seluruh pikiranku, kelima panca inderaku, dan seluruh tubuhku, seolah-olah itu adalah miliknya sendiri.
Oleh karena itu, energi kami yang saling terhubung ini sangat penting bagi kehidupan baru yang diberikan Tuhan kepada kita. Kami sudah terbiasa karena kami telah berusaha keras untuk menyesuaikan diri. Ini telah terjadi selama hampir empat tahun.
Jika kami tidak menyesuaikan semua kegiatan dan aktivitas tubuh kami, yang terjadi adalah kelelahan. Katakanlah dia menyandarkan punggungnya ketika aku sedang melakukan aktivitas lain yang membuatku harus berdiri tegak, maka yang terjadi adalah, aku mengalami sesak napas dan pusing. Jika saat itu aku sedang berada di atas tangga, hal buruk yang dapat terjadi adalah, aku terjatuh. Begitupun sebaliknya. Energi kami yang saling terhubung terasa paling kuat di hati dan puncak kepala. Istilah yang biasanya lebih dikenal dan sering disebut orang sebagai heart cakra dan crown cakra. Semakin tinggi vibrasi di antara kami, semakin tenang kami bisa menjalani kehidupan ini. Karena selaras dengan apa yang menjadi tujuan kami dilahirkan sebagai manusia, juga sejalan dengan apa yang diinginkan sepasang higher self kami.
Energi kami terasa paling kuat saat kami berbaring. Itu yang membuat kami bisa menciptakan sebuah ruang khusus hanya untuk kami berdua, dengan menautkan hati kami. Saat itulah, biasanya kami bisa terhubung dengan kesadaran kami yang lebih tinggi atau higher self.
Imaji pertama itu datang begitu saja. Sepasang manusia yang memiliki postur tubuh besar dan rambut tebal yang mengembang, dengan jalinan-jalinan besar di setiap helaiannya. Yang laki-laki memiliki jenggot tebal di wajahnya. Mereka berdua bertelanjang dada dan hanya mengenakan sesuatu yang berwarna hijau di tubuh bagian bawah. Kalung-kalung besar melingkari leher dengan hiasan kecil aneh berwarna putih yang mencuat keluar. Mereka berpegangan tangan. Menari dengan wajah gembira dan senyum lebar tersungging di bibir. Berputar dan berputar terus. Pemandangan yang tampak di latar belakang adalah goa besar dari batu yang berkelebat cepat. Langit cerah kebiruan membentang di atas dan pohon-pohon menjulang tinggi di kanan kiri.
Itu adalah kali pertama kami diperlihatkan kehidupan kami bersama, sebagai sepasang manusia purba dari jaman batu.
Penglihatan tidak datang sesering yang kami pikirkan. Dan terjadinya tidak berurutan. Biasanya diselipkan di sela-sela waktu pagi hari, di saat aku baru terbangun, ataupun malam hari sebelum tertidur. Bahkan tidak jarang, penglihatan datang ketika aku sedang sarapan, atau duduk bersandar sejenak, untuk mengistirahatkan tubuh yang kelelahan.
Imaji kedua muncul pada dini hari. saat aku terbangun. Pasangan saya memiliki hubungan dengan mimpi saya selain dengan tubuh, kelima panca indera, dan pikiran saya. Dan dia melihat semua mimpiku ketika aku tertidur. Tidak jarang dia membangunkanku ketika aku bermimpi buruk atau bercanda denganku saat aku melihat mimpi konyol. Walaupun aku sedang tidur, kami masih terhubung.
Dia menyapaku saya seperti biasa saat aku baru bangun. Setelah itu, saya merasa tenang dan damai. membawa saya melayang. Sekonyong-konyong, saya melihat layar bioskop. Yang pertama terlihat adalah pilar-pilar putih yang berdiri di kanan kiri, dengan sulur tanaman merambat yang dihiasi.
Di bawahnya, seorang laki-laki yang mengenakan semacam pakaian berwarna putih model Yunani kuno, sedang berlutut di dekat tubuh seorang wanita yang terbaring tidak bergerak. Rambut panjang bergelombang sewarna pasir membingkai wajah eloknya yang sedang tertidur. Rambut itu tergerai indah, membentuk lingkaran halo di sekeliling kepalanya, menutupi lantai batu tempat dia berbaring. Dengan sangat perlahan, laki-laki itu memindahkan kepala wanita tersebut ke atas pangkuannya, lalu mengecup keningnya penuh sayang.
Seseorang berteriak tanpa suara di kepalaku. Imaji itu berubah kabur dan lenyap. Aku terbangun seketika. Air mata mengalir menuruni pipiku tanpa kusadari. Hatiku berdenyut perih. Rupanya, pasanganku menangis. Perasaan sedih dan hati yang hancur menghantamku bertubi-tubi. Walaupun tampaknya kami hanya sedang menonton cuplikan kehidupan orang lain, trauma masa lalu itu masih membekas. Walaupun tanpa ingatan, jiwa yang terlahir kembali masih mengingat jelas rasa sakit di kehidupan itu, ketika dia kehilangan pasangan jiwanya.
Penglihatan ketiga diberikan ketika aku sedang menyantap makan siang. Di kala tengah mengunyah makanan, sensasi damai menyelimutiku, dan aku seolah tidak sadarkan diri. Kondisinya mirip dengan orang yang tiba-tiba tertidur sambil duduk, dengan semulut penuh makanan.
Imaji ruangan besar yang penuh dengan mesin memenuhi penglihatanku. Ruangan itu gelap dengan sinar merah yang mirip lampu sirene yang dinyalakan dan berputar-putar. Seorang laki-laki muda berwajah tegang membopong perempuan yang tidak sadarkan diri di dalam pelukannya. Sebelah tangannya menggenggam pistol pendek berwarna hitam. Sejenis handgun. Laki-laki itu mengedarkan pandangan ke kiri dan kanan dengan waspada, sebelum keluar dari ruangan gelap dengan lampu merah yang menyala-nyala. Di luar ruangan, terdapat selasar pendek yang terhubung dengan sebuah tangga sempit. Laki-laki itu mendudukkan perempuan yang sedari tadi dibopongnya ke sebuah kursi panjang, di sebelah kanan pintu keluar yang beberapa detik lalu dilewatinya. Kepala perempuan tersebut nampak terkulai lemas. Tidak terlihat jelas apakah dia masih hidup atau tidak. Kemudian, laki-laki itu berjalan cepat ke arah tangga. Namun langkahnya terhenti dan dia tampak terkejut. Dengan cepat dia menghambur kembali ke arah perempuan yang didudukkannya di kursi panjang di dekat pintu, dan memposisikan diri di depannya, melindunginya dari rentetan peluru yang mulai ditembakkan dari orang-orang berpakaian gelap yang mulai berdatangan dari arah tangga.
Lalu aku tersadar. Masih dengan mulut penuh dan posisi duduk di depan meja makan. Dengan perasaan syok, aku melanjutkan menghabiskan makan siangku. Tentu saja pasanganku juga menyaksikan apa yang baru saja kulihat. Sepenggal cerita sebelum laki-laki dan perempuan asing tersebut menemui ajal mereka.
Sebentuk pemahaman seolah datang kepada kami. Mimpi siang bolong beberapa menit yang lalu adalah salah satu cerita kehidupan masa lalu kami, yang memang sengaja diperlihatkan. Yang membuat syok adalah, mengapa bukan bagian yang indahnya saja yang ditunjukkan? Mengapa justru memilih adegan kematian mereka yang tragis?
Yang keempat terjadi pada malam hari, ketika aku hendak tidur. Penglihatan yang datang sangat acak kali ini. Bagaikan potongan adegan di dalam cuplikan film. Yang pertama terlihat adalah sosok belakang seorang perempuan yang mengenakan gaun bangsawan berwarna cokelat keemasan yang tampak indah dan elegan. Perempuan itu menoleh, dan menatap ke dalam mataku. Seakan dia menyadari kalau aku sedang melihatnya. Wajahnya masih muda. Dan sangat cantik. Rambut cokelatnya digelung longgar di atas tengkuknya. Sepasang matanya yang menatapku dihiasi kesedihan.
Adegan selanjutnya memperlihatkan seorang wanita paruh baya yang tampak marah. Sebelah tangannya dengan kasar menarik seorang gadis muda lain. Tidak terlihat jelas ruangan seperti apa yang mereka masuki. Yang jelas, kami menonton adegan itu dari arah depan, dan adegan dimulai ketika wanita paruh baya itu menarik seorang gadis muda yang adalah anaknya, masuk ke dalam sebuah ruangan bercat putih. “Aku akan membuatmu waras kembali,” bentaknya. “Kamu akan tetap di sini dan biarkan mereka mengobatimu.”
Kemudian adegan berubah. Seorang laki-laki bertubuh besar tampak sedang menyeret tubuh laki-laki lain. Tubuh yang diseret itu dihempaskan begitu saja di lantai batu. Di sekelilingnya, terlihat ruangan kecil berjeruji besi berwarna hitam. Laki-laki bertubuh besar itu berkata, “Laki-laki ini adalah pelindung gadis itu,” ujarnya, sambil menunjuk tubuh yang terbaring tidak bergerak di lantai, “saat dia masih hidup.”
Lalu layar menjadi gelap sebelum perlahan-lahan membentuk imaji sebuah lorong panjang berpenerangan remang-remang. Ada selokan sempit yang memanjang di sisi sebelah kiri, berikut pipa-pipa panjang yang terpasang di dinding sepanjang selokan. Seorang laki-laki muda berpakaian abad pertengahan terlihat sedang bersadar pada dinding. Sebilah belati panjang tergenggam di sebelah tangannya. Kemudian laki-laki itu mulai berjalan. Langkahnya terseok-seok dan pincang. Beberapa saat kemudian, dia berhenti untuk mengambil napas, kembali menopangkan sebelah tangannya pada dinding. Saat itulah, sebilah pedang besar ditancapkan ke punggungnya, sampai menembus dada. Darah muncrat keluar dari mulutnya. Tubuhnya terjatuh ke lantai begitu pedang besar itu ditarik keluar.
Semua adegan di atas tidak diperlihatkan secara bersamaan, namun dalam rentang waktu beberapa bulan. Dan tidak berurutan. Pemahaman yang kami dapatkan adalah, perempuan itu dimasukkan ibunya ke dalam rumah sakit jiwa, dan laki-laki yang berusaha menyelamatkannya, yang disebut-sebut sebagai pelindungnya, dibunuh dengan brutal.
Tidak pernah diberitahukan kehidupan mana yang terjadi duluan, dan mana yang berikutnya. Karena menurut ‘mereka’, itu tidaklah penting. Potongan-potongan adegan yang diperlihatkan kepada kami, diselipkan di antara mimpi maupun dalam keadaan sadar.
Selanjutnya, penglihatan kelima dan keenam yang akan kuceritakan adalah dua kehidupan terakhir kami, sebelum terlahir kembali di kehidupan kami yang sekarang.
Kehidupan kedua terakhir kami terjadi di era Tiongkok kuno. Penglihatan kelima yang diberikan kepada kami.
Kali ini, layar menyorot seorang laki-laki berwajah oriental yang sangat tampan. Begitu dekat. Begitu jelas. Dan begitu mendetail. Rambut hitamnya digelung di atas kepalanya. Anak-anak rambut yang terlepas membingkai wajah eloknya yang masih terlihat sangat muda. Barangkali baru memasuki awal dua puluhan. Dia mengenakan pakaian tradisional Tiongkok berwarna biru langit.
Wajah itu berulang kali terbayang ketika kami sedang menautkan hati. Terkadang, wajah pasanganku berubah menjadi wajah laki-laki muda berpakaian biru itu.
Yang diperlihatkan selanjutnya adalah seorang laki-laki yang mengenakan jubah kebesaran berwarna kuning, sebilah belati tergenggam di tangan kanannya. Sekilas, orang itu tampak hanya berdiri diam. Namun sejurus kemudian, dia menebaskan belati di tangannya. Sebuah benda berat berbentuk bulatan jatuh dan menggelinding di tanah. Menyisakan tubuh berlumuran darah tanpa leher dengan posisi berlutut dan dalam keadaan kedua tangan diikat ke belakang. Laki-laki berbaju kuning tersebut beralih ke orang berikutnya dan melakukan hal yang sama. Setidaknya, ada empat sampai lima orang yang berada dalam posisi seperti itu. Menunggu kematian menghampiri mereka.
Seolah ada lensa kamera yang sedang merekam. Layar berkedip, menyorot sesuatu yang tergeletak di atas tanah. Bermandikan air hujan yang bercampur dengan tanah dan darah, wajah laki-laki muda berbaju biru dengan rambut yang masih tergelung ke atas, menatap kosong. Di kejauhan, terdengar jeritan memilukan seorang perempuan, “Bagaimana dengan aku?,” teriaknya di sela-sela tangisannya. “Bagaimana dengan anak kita?”
Kukira jeritan yang kami dengar berasal dari cuplikan adegan kematian di masa lalu. Namun kami keliru. Jeritan itu datangnya dari bibirku sendiri. Terendam oleh bantal yang basah oleh air mata yang mengalir deras. Ingatan tentang masa itu sudah tidak ada. Yang tertinggal hanyalah trauma yang ikut terbawa ke dalam kehidupan selanjutnya.
Setelah pulih dari syok, kami berpikir keras, menebak-nebak kesalahan apa yang telah dilakukan laki-laki muda tersebut, ketika sapuan rasa kantuk kembali menyerang.
Kali ini semuanya seolah terjadi begitu cepat. Lebih mirip kelebatan adegan yang dipercepat pada saat-saat yang sangat krusial. Seorang laki-laki berbadan besar menaiki undakan depan dalam langkah-langkah lebar. Bahasa tubuhnya kasar dan berang. Dia mengangkat tangannya dan mendorong keras. Pintu depan menjeblak terbuka. Memperlihatkan wajah syok laki-laki muda berbaju biru dengan rambut yang digelung ke atas. Dengan nada marah dan geram, laki-laki bertubuh besar itu bertanya, “Kenapa kau melakukan hal seperti itu?” Dia mengangkat tangan seolah hendak memukulnya. Di hadapannya, laki-laki muda berbaju biru itu hanya menatapnya pasrah. Wajahnya yang masih sangat muda tampak pucat dan sedih.
Lalu aku terbangun dengan kaget. Sampai akhir, tidak diberitahukan alasan kenapa hidup laki-laki muda itu harus berakhir dengan begitu tragis.
Dan sampailah kita pada penglihatan keenam, sekaligus kisah kehidupan terakhir kami berdua sebelum kehidupan kami yang sekarang. Karena itu, kisah yang ini lebih mendetail. Penglihatan yang diberikan kepada kami lebih jelas dan lebih lengkap. Walaupun informasi yang diberikan juga loncat-loncat dan tidak beraturan.
Cerita kali ini mengambil setting di Jepang jaman Edo, tahun 1655 (bagi yang penasaran, silakan dicek sendiri kejadian besar apa yang terjadi di Jepang jaman Edo pada periode tersebut). Di sana, aku adalah anak yatim piatu yang dipungut oleh Tuan Besar yang berstatus sebagai Tuan Tanah (daimyo) pada saat itu. Pasanganku adalah anak dari Tuan Tanah. Dia adalah seorang Samurai berpangkat Laksamana. Yang akhirnya menikahi anak yatim piatu yang dipungut oleh ayahnya.
Kami diperlihatkan imaji Samurai tersebut secara mendetail. Seragam putih biru yang dikenakannya saat bertugas, kimono lengkap dengan hakama dan haori-nya, beserta katana yang kadang-kadang tampak tergenggam di tangannya. Juga adegan-adegan saat dia bersama istrinya yang sangat cantik. Walaupun hanya berupa kilasan dan potongan-potongan gambar, kami menyaksikan semua itu dengan rasa pedih di dada. Seolah kenangan yang mendominasi di sana adalah kesedihan.
Kali berikutnya, tanpa peringatan sama sekali, imaji sebuah lempengan berukiran unik berbentuk bulat pipih diperlihatkan kepada kami. Lempengan itu berwarna merah tembaga. Seolah lensa kamera yang sedang menyorot ditarik mundur, pemandangan di depan mulai terlihat. Rupanya lempengan berukiran unik berbentuk bulat pipih tersebut adalah pelindung (sebutannya adalah tsuba dalam bahasa Jepang) yang memisahkan antara mata pisau dengan gagangnya. Dan tsuba yang kami lihat telah berubah warnanya oleh darah Samurai berbaju biru putih yang ditusuk perutnya oleh seorang samurai lain. Bilah pedang itu dicabut, lalu ditusukkan sekali lagi. Kemudian, pemandangan itu lenyap.
Imaji lain adalah kami melihat anakku yang kecil, saat itu dia belum genap berusia empat tahun. Di dalam penglihatan kami, anakku berlarian sambil tertawa-tawa. Sedetik yang lalu wajah anak kecil itu masih wajah anakku, namun detik berikutnya, wajahnya berubah. Pakaian yang dikenakannya juga ikut berubah. Di depannya, kami melihat imaji diriku yang lain menyambutnya. Saat anak kecil itu berada di dalam pelukan diriku yang lain, wajahku pun ikut berubah. Menjadi wajah perempuan lain, dengan rambut hitam panjang yang diikat ke belakang, mengenakan kimono berlapis-lapis yang panjangnya menyapu lantai.
Di suatu pagi, sesaat sebelum terbangun, aku melihat punggung seorang perempuan yang mengenakan kimono sederhana. Dia berdiri di atas jembatan. Sebelah kakinya diikat dengan tali yang tersambung pada sebuah batu besar. Sepasang tangan mendorong perempuan itu sehingga dia jatuh ke dalam air. Batu yang dijadikan sebagai pemberat menarik dan menahan agar tubuhnya tetap berada di bawah. Lalu sebuah suara berbicara di dalam kepalaku. “Istri dan anak Samurai yang berkhianat akan dijatuhi hukuman mati.” Aku terbangun dalam keadaan syok. Bukankah anak Samurai itu belum genap berusia empat tahun? Dan dia dihukum dengan cara yang sama karena dituduh sebagai keluarga pengkhianat. Ya, Tuhan.
Tidak semua adegan kehidupan Samurai dan istrinya diperlihatkan kepada kami. Terkadang juga disampaikan dengan cara lain. Seperti misalnya, suara perempuan yang bicara di dalam kepalaku.
“Miyu.”
Apa? Siapa?
“Nama istri Samurai itu.”
Masa?
“Dia suka memanggilmu dengan nama itu.”
Oh!
Itu adalah percakapan langsung pertamaku dengan higher selfku. Pertama kalinya dia berbicara padaku saat aku dalam keadaan sadar. Biasanya, dia hanya muncul dan menyampaikan pesan-pesan ketika aku berada dalam kondisi setengah sadar atau setengah tertidur. Dan anehnya, aku mengingat semua pesan yang disampaikannya kepadaku.
Di lain hari, kami diperlihatkan malam terakhir Samurai itu bersama istri dan anak lelakinya yang belum genap berusia empat tahun. Mereka tidur berdekatan. Samurai itu memeluk istrinya erat. Dia berpesan, “Jika aku tidak pulang keesokan harinya, bawalah anak kita dan pergi dari sini. Pergilah dan bersembunyi di dalam hutan. Jauhi anak sungai dan jalan setapak.” Istrinya mengangguk sambil menangis. Kami berdua merasakan kesedihan mereka. Karena rupanya, Samurai itu sudah tahu bahwa, hari dimana dia dipanggil untuk menghadap sang Shogun, itu akan menjadi saat terakhir hidupnya.
Semua penglihatan yang diberikan sifatnya selalu acak
Lalu ada informasi yang sengaja diselipkan kepada kami sesaat sebelum aku terbangun. Seperti, “Jenderal kita, dia mati karena dikhianati oleh Rajanya sendiri,” dan kalimatnya masih berlanjut, “Dia dikhianati karena tidak menyetujui pembantaian seratus lima puluh orang tidak berdosa itu disembunyikan.”
Penglihatan terakhir yang diberikan kepada kami mengenai Samurai itu adalah, dia mati di tangan samurai lain yang tidak lain adalah koleganya sendiri. Percayalah, pemandangan yang kami saksikan tidaklah indah. Dan rasa sakit serta trauma akan pengkhianatan itu masih begitu membekas di dalam jiwa pasanganku.
Kami berdua menyaksikan adegan kejam itu suatu malam. Saat saya mencoba memindai foto seseorang yang diduga telah membunuh pasangan saya di masa lalunya. Ketika aku mencoba memahami karakter jiwa dari foto orang tersebut, ada sesuatu yang aneh dengan pasangan saya. Apa yang dialaminya langsung terasa padaku karena kami terhubung secara energi. Saat itu, aku merasa tubuhku berguncang dengan cepat, dan sensasi itu menjadi lebih kuat seiring waktu. Kemudian saya menjadi marah. Kemarahan yang sangat besar dan penyesalan yang sangat dalam. Kami sepertinya memiliki perasaan Samurai dalam tubuh kami.
Dia yang marah pada pembunuhnya. Dia yang marah pada dirinya sendiri karena memenuhi panggilan itu. Dia yang marah karena membiarkan istri dan anaknya yang tidak berdosa dibunuh. Lalu perlahan, kemarahan itu berubah menjadi penyesalan karena tidak bisa melindungi mereka, karena tidak bisa memenuhi janjinya untuk kembali.
Aku merasakan pasanganku berteriak marah tanpa suara. Air mata membanjiri wajahku.
Kemudian imaji lain berkelebat di dalam kepalaku. Belah tipis pedang yang dihunjamkan dalam-dalam ke tubuh Samurai berbaju biru itu membuat wajahnya tampak syok. Lalu pedang ditarik dan dihunjamkan sekali lagi. Tubuh Samurai itu goyah, dia menopang tubuhnya sendiri dengan katananya agar bisa tetap berdiri tegak. Namun orang yang menusuknya seolah tidak berperasaan. Dengan sebelah tangan, dia menjambak rambut Samurai itu agar mendongak menghadapnya. Lalu ditusukkan lagi bilah pedangnya. Lagi. Lagi. Dan lagi. Berulang kali sampai Samurai itu tersungkur ke lantai dan berlumuran darah.
Adegan berganti. Memperlihatkan seorang perempuan berambut hitam panjang yang diikat ke belakang, jatuh berlutut. Dengan tubuh menelungkup di atas lantai, dia menangis dan melolong keras.
Ikatan jiwa itu sejak dulu tidak pernah terputus.
Kisah Hotaru dan Miyu telah berakhir. Begitu pula dengan kisah-kisah yang lain.
Kami adalah Lexia dan Rein.
Kehidupan yang berbeda. Cerita yang berbeda.
Namun jiwa di dalam tubuh kami mengingat dengan jelas semua trauma kehidupan yang pernah kami jalani.
Semua imaji yang diberikan hanyalah berupa imaji. Tidak ada lagi ingatan yang tersisa.
Ini adalah kehidupan ketujuh sekaligus kehidupan terakhir kami sebagai manusia.
Terima kasih karena telah membaca sampai akhir.