Begitu saya mengetahui bahwa saya (yang bukan ahli bahasa atau mahasiswa linguistik) ditanyai pertanyaan seperti itu, saya langsung membuka database bahasa yang sepertinya biasa saja.—Ethnologue: Languages of the World .
Berdasarkan informasi dari database tersebut, saat ini terdapat 88 isolat bahasa di dunia.
[1]
Tujuh (7) di antaranya terdapat di Indonesia, khususnya Papua.
[2]
Berikut tujuh bahasa isolat yang dimaksud.
- Abinomn (kode bahasa: bsa), bahasa ini dituturkan di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua.
- Abun (kgr), bahasa ini dituturkan di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat.
- Elseng (mrf), bahasa ini dituturkan di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
- Hatam (had), bahasa ini dituturkan di Kabupaten Manokwari, dan Pegunungan Arfak, Provinsi Papua Barat.
- Massep (mvs), bahasa ini dituturkan di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua.
- Mawes (mgk), bahasa ini diturukan di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua.
- Mpur (akc), bahasa ini dituturkan di Lembah Kebar, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat.
Dari tujuh bahasa terisolasi di atas semuanya berasal dari Papua dan tiga hanya berasal dari satu daerah, yaitu Kabupaten Sarmi di pesisir utara Pulau Papua (pecahan Kabupaten Jayapura).
Menurut Lyle Campbell yang dikutip dalam laman Wikipedia, bahasa terisolasi adalah bahasa yang tidak menunjukkan kekerabatan genetik dan/atau hubungan interseks dengan bahasa lain. Dalam arti luas, bahasa terasing juga dapat diartikan sebagai bahasa yang tidak dapat dibuktikan keturunannya dari bahasa leluhur (proto) yang diketahui merupakan keturunan dari bahasa lain.
[3]
Tidak semua ahli bahasa sepakat mengenai otoritas bahasa, baik itu bahasa terisolasi atau tidak. Beberapa bahasa terisolasi, seperti Korea dan Ainu, dianggap berkerabat dengan bahasa lain. Setidaknya menurut beberapa ahli. Oleh karena itu, validitas pemisahan bahasa terkadang masih diperdebatkan.
Pembelajaran bahasa terkadang “berhasil”. Ini menunjukkan hubungan genetik dan kekerabatan bahasa-bahasa yang dulunya terpisah. Dalam hal ini keadaan bahasa berubah dari terisolasi menjadi berkelompok atau tidak sama sekali. Tapi ada payung untuk keluarga.
Contoh spesifik bahasa Indonesia yang mengalami perubahan status sejak kemerdekaan adalah Engano (kode bahasa: Eno). Bahasa yang digunakan di Pulau Enggano, lepas pantai Provinsi Bengkulu, dulunya dianggap sebagai bahasa terpencil. Melihat database Etnologi: Bahasa Dunia menunjukkan bahwa Engano bukan lagi bahasa terisolasi, meski masih belum dianggap sebagai bahasa Melayu-Polinesia. Berikut beberapa bahasa di Indonesia (kecuali Enggano) yang tidak terbagi melainkan tidak dipisahkan:
- Bulungan (blj), bahasa Melayu-Polinesia yang belum diklasifikasikan. Dituturkan di Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara.
- Gorap (goq), bahasa Melayu-Polinesia yang belum diklasifikasikan. Dituturkan di Provinsi Maluku Utara.
- Kerinci (), bahasa Melayu-Polinesia yang belum diklasifikasikan. Dituturkan di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.
- Namla (naa), belum diklasiikasikan. Hampir punah (status 8b). Dituturkan di Kabupaten Keerom, Provinsi Papua.
- Nasal (nsy), bahasa Melayu-Polinesia yang belum diklasifikasikan. Dituturkan di Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu.
[4]
Saat menulis jawaban di atas, saya menyadari betapa kayanya bahasa di negara kita. Menurut berbagai sumber, ada ratusan bahasa di Indonesia. Menurut Worldatlas, terdapat 700 bahasa yang hidup di Indonesia.
[5]
Menurut Gordon LaForge dalam Jakarta Post terdapat 706 bahasa, menjadikan Indonesia salah satu dari sepuluh negara dengan bahasa terbanyak.
[6]
Namun, lebih dari separuh bahasa yang hidup mengalami kemunduran atau menghilang. Bahasa, terisolasi atau tidak, harus dilindungi dari kepunahan. Sebab hilangnya bahasa berarti hilangnya makna dan pengetahuan masyarakat yang mendukungnya.
“When we lose a language, we lose centuries of thinking about time, seasons, sea creatures, reindeer, edible fl owers, mathematics, landscapes, myths, music, the unknown and the everyday” —K. David Harrison dalam Maugh 2007 dalam Kottak.
Daftar Pustaka
Language isolate – Wikipedia
[4]
The Improbable Language: Survey Report on the Nasal Language of Bengkulu, Sumatra
[5]