Keluarga kami bukanlah keluarga yang berada, tapi bapak saya pernah nekat mengajak saya makan pizza ketika saya sedang merasa dikucilkan.
Saat itu saya duduk di kelas 6 SD dan menjadi bagian dari geng anak-anak populer di kelas. Saya merasa beruntung bisa masuk dalam kelompok itu, meski latar belakang saya sangat jauh dari mereka. Geng kami terdiri dari 5 atau 6 orang, dan saya tahu diri bahwa posisi saya paling rendah di antara mereka.
Di awal pertemanan, semuanya baik-baik saja meskipun saya sering merasa hanya menjadi pesuruh. Saya bertahan karena saya tidak punya teman lain dan tidak ingin sendirian.
Masalah mulai muncul ketika ada anak baru yang bergabung dengan geng kami. Dia cantik, lembut, kaya, dan punya banyak barang-barang lucu yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Suatu hari, kami berencana pergi ke Timezone bersama-sama untuk liburan. Saya sangat bersemangat karena ini adalah pengalaman pertama saya hangout ke mall bersama teman-teman.
Kami sepakat untuk berkumpul di rumah si anak baru, lalu ayahnya akan mengantar kami ke Timezone. Saya pun menceritakan rencana ini ke orang tua saya dan bersiap sejak pagi hari dengan semangat yang luar biasa. Saya memilih baju terbaik dan menyetrikanya di malam sebelumnya, bahkan tidak bisa tidur karena terlalu bersemangat.
Di hari yang dinanti, saya sudah siap dari jam 8 pagi meski kami baru akan berangkat sekitar jam 10. Sambil duduk di samping bapak saya di toko sembako milik keluarga, saya terus mengecek handphone dan mengirim pesan ke teman-teman, menanyakan apakah mereka sudah berkumpul. Namun, hingga mendekati waktu berangkat, tidak ada satu pun kabar dari mereka. Tidak ada SMS, tidak ada telepon, tidak ada yang menghubungi saya.
Merasa panik dan malu di depan orang tua, saya akhirnya memberanikan diri menelepon salah satu teman. Jawaban yang saya terima membuat hati saya hancur: “Kami sudah berangkat.” Saya hanya bisa menjawab “oh ok” dengan air mata yang menetes tanpa bisa saya kendalikan. Bapak saya yang melihat kejadian itu tidak banyak bertanya. Saya hanya berkata, “Hehe, nggak jadi, Pak. Mereka sudah berangkat.”
Beberapa saat kemudian, bapak menyuruh ibu menjaga toko, lalu dia mengajak saya pergi. Awalnya saya menolak, tapi akhirnya kami berangkat juga. Tanpa saya sadari, bapak membawa saya langsung ke mall tempat Timezone berada dan menyuruh saya menyusul teman-teman saya. Saya senang sekali!
Di Timezone, bapak saya ikut bermain, tetapi tidak mengikuti saya. Mungkin itu juga pertama kalinya beliau main di Timezone. Namun, ketika bertemu teman-teman, saya tetap merasa tidak diterima. Saya seperti tamu yang tidak diundang dan merasa diabaikan. Bahkan ketika saya ingin meminjam satu koin dari mereka, tidak ada yang mau meminjamkan.
Bapak yang melihat saya merasa tidak nyaman langsung mengajak saya pergi lebih dulu. Bukannya pulang, bapak malah mengajak saya makan pizza. Saya masih ingat betul, pizza tuna melt dengan pinggiran nugget. Ini adalah pizza pertama saya, meski saya lebih suka makan nuggetnya karena bau tuna yang menyengat.
Saat kami sedang makan, saya melihat teman-teman saya turun ke lantai yang sama. Tapi dengan pizza di depan mata, saya tidak peduli lagi. Pizza itu, meski sederhana dan terasa nekat, adalah momen yang membuat saya merasa dicintai di tengah rasa kecewa dan sedih.