Indonesia menunjukkan ketertarikan yang jelas untuk bergabung dengan BRICS, seperti yang tercermin dalam berbagai pendapat dan data yang ada. Jamie Wright, misalnya, mencatat bahwa ada 23 negara yang secara resmi mengajukan permohonan untuk bergabung dengan BRICS. Para pakar juga berpendapat bahwa keanggotaan dalam BRICS dapat membuka peluang besar bagi Indonesia, seperti akses yang lebih dalam ke pasar negara-negara anggota BRICS seperti China, India, dan Rusia, serta mendapatkan akses eksklusif ke pendanaan pembangunan dari New Development Bank (NDB), yang dikenal juga sebagai BRICS Bank.
NDB, dengan dana pinjaman sebesar $250 miliar, berbeda dari Bank Dunia dalam pendekatannya. NDB menerapkan prinsip tailor-made, yaitu merancang pinjaman yang disesuaikan dengan kebutuhan proyek dan kemampuan bayar negara penerima, sehingga memberikan fleksibilitas yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara berkembang. Selain itu, keuntungan bersih dari bunga pinjaman NDB dibagikan kepada anggota dalam bentuk dividen, menjadikannya seperti koperasi global.
Keanggotaan BRICS menawarkan keuntungan signifikan bagi negara-negara berkembang, seperti akses ke pasar, proyek, dan pendanaan pembangunan. Hingga kini, sudah ada 40 negara yang menunjukkan minat untuk bergabung dengan BRICS. Di Indonesia, pandangan optimis juga terlihat dalam berbagai artikel, dan Presiden Jokowi sendiri telah hadir di KTT BRICS untuk menyuarakan pandangannya tentang nasib negara-negara berkembang, yang sejalan dengan misi BRICS.
Namun, Indonesia belum berhasil bergabung dengan BRICS. Menurut penjelasan resmi dari Presiden Jokowi, Indonesia masih mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari keanggotaan BRICS. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia lebih memilih OECD daripada BRICS, meskipun OECD adalah organisasi negara-negara kaya yang dikenal sebagai “White Man’s Club.” Beberapa negara berkembang, seperti Argentina dan Brasil, telah diterima sebagai anggota OECD meskipun juga merupakan anggota BRICS.
Terdapat juga isu internal di Indonesia mengenai keputusan bergabung dengan BRICS. Menurut laporan The Jakarta Post, dua menteri dalam tim Presiden Jokowi tidak setuju dengan keanggotaan BRICS, berargumen bahwa hal tersebut akan menempatkan Indonesia pada blok China dan Rusia, melanggar prinsip non-blok negara tersebut. Ironisnya, memilih bergabung dengan OECD, yang dipimpin oleh AS dan Inggris, juga bisa berarti memilih blok Barat. Ini menunjukkan adanya dilema politik dalam keputusan Indonesia mengenai keanggotaan internasionalnya.