Tidak selalu, tergantung pada jenis racun yang digunakan.
Dari perspektif medis, ada racun yang berbahaya bagi semua orang, tetapi yang lain hanya berbahaya bagi individu yang menerima dosis tertentu.
Di bidang kesehatan kulit, ada dua klasifikasi yang lebih jelas, yaitu
- Zat korosif atau iritan (baca: kalau kita terpapar zat ini dalam dosis ambang tertentu, maka kulit semua orang pasti akan mengalami iritasi, misalnya bentol atau melepuh). Ketahanan terhadap zat korosif biasanya tak bisa dilatih. Contoh zat korosif: deterjen, pemutih (Bayclin), dsb.
- Zat alergen (baca: kalau kita terpapar zat ini dalam dosis tertentu, ada orang yang kulitnya bereaksi, ada juga yang tidak). Bedanya lagi, ketahanan tubuh terhadap zat alergen ada kalanya bisa dilatih dengan desensitisasi.
[1]
Contoh zat alergen: emas imitasi, nikel, rantai jam tangan.
Nah, apa hubungannya ini dengan mithridatism?
Mithridatism adalah upaya untuk membuat tubuh terbiasa dengan racun tertentu dengan meminum atau mengkonsumsi racun tersebut dalam jumlah yang lebih kecil sambil terus meningkatkan dosisnya secara bertahap. Analoginya, mithridatism adalah salah satu jenis desensitisasi, di mana sistem kekebalan tubuh mencoba menipu diri sendiri untuk mulai terbiasa dengan suatu zat yang dianggap asing. Sampai di sini, kita akan berpikir bahwa semua zat bisa dibiasakan dengan tubuh kita.
Namun, tidak begitu. Proses netralisasi antigen tidak sesederhana yang kita duga. Di dalam rangkaian proses ini ada sistem imunitas yang terlibat (mulai dari sel darah putih yang mampu mengeluarkan zat kimiawi untuk membunuh sel-sel asing), lalu juga ada hati sebagai organ yang bisa menetralkan racun dengan cara menambahkan gugus-gugus kimia tertentu pada racun sehingga racun tak lagi begitu poten, dan ada limpa yang bertugas mendaur ulang sisa-sisa olahan darah dan hati. Setiap tahapan ini punya daya tampung, dan agar tubuh kita tidak keracunan, semua pihak dalam proses netralisasi antigen ini harus berperan maksimal. Begitu ada satu pihak yang “kelebihan beban”, maka proses akan jadi kacau dan tubuh kita pun keracunan. Inilah yang dikhawatirkan dari praktik mithridatism.
Masalahnya, tidak semua zat bisa dibiasakan dengan tubuh kita dengan cara layaknya mithridatism. Dalam pranala tentang Mithridatism yang dilampirkan dalam pertanyaan (dari Wikipedia) bahkan sudah dicantumkan contohnya: sianida. Tubuh manusia bisa mengolah sianida dalam jumlah kecil lewat organ hati, sehingga menjadi tidak toksik. Tetapi setelah ambang tertentu tercapai, hati tidak lagi bisa menetralisasi sianida, sehingga setelah ambang itu lewat, sianida akan menjadi racun definitif bagi tubuh manusia. Melatihnya juga percuma, karena hati hanya punya kapasitas/kemampuan yang terbatas untuk mengolah sianida. Lebih dari itu, hati tidak lagi bisa menanganinya, dan jadilah sianida masuk ke sirkulasi tubuh dalam kondisi tidak terolah, sehingga jaringan tubuh kita akan rusak karenanya. Alkohol, racun ular, racun laba-laba jenis tertentu, hingga obat tertentu pun, cara kerjanya dalam tubuh kita mirip seperti ini.
Soal praktik Mithridates VI, ada jurnal kedokteran yang pernah coba membantah mitos ini dengan logika ilmiah sederhana yang juga dikaitkan dengan penjelasan di atas. Bisa dibaca di sini
[2]
.
Jadi jawabannya: bisa saja seseorang jadi kebal usai melatih dirinya dengan mithridatism, tetapi pada sebagian besar kasus, rasanya tidak—yang ada malah orangnya akan keracunan sendiri.
Catatan Kaki
Desensitization (medicine) – Wikipedia
[2]
Mithridates VI Eupator king of Pontus and the venomous snakes