Tetangga samping rumah melempar racun tikus di halaman rumah kami. Karena melihat saya memberi makan kucing.
Saya hanya berdo’a dalam hati “semoga tidak ada kucing yang memakannya”
Sekedar info, tidak satupun kucing yang bèr*k di halaman tetangga. Saya sudah pastikan itu.
Demi kelancaran hubungan pertetanggaan saya pindahkan sendiri kucing² musafir yang sering mampir kerumah.
Karena entah kenapa, since day one, tiba-tiba ada kucing datang numpang beranak. Saat hujan mereka kehujanan. Akhirnya kami pelihara.
Selanjutnya, saya pasang lukisan seekor kuda hasil karya saya sendiri yang berhadapan langsung dengan pintu tetangga.
Maksud saya, jangankan kucing, seekor kudapun bila mampir kerumah saya, pasti akan saya kasih makan.
Why don’t you?
Bukankah aku pindah ke rumah itu juga memberi salam. Berkenalan. Masak susah payah, nasi kuning, sambal goreng hati sapi, perkedel, dll.
Membagikan ke tetangga kiri kanan dan depan (belakang gak ada). Menyampaikan sendiri, tidak nyuruh siapapun. Tidak lupa menyelipkan salam perkenalan dan mencantumkan nama kami.
Beberapa waktu kemudian, saat acara kompleks, saat bersalaman, sang tetangga menyapa: halo bu Sofie..
Saya cuma mesem. Kok Sofie? Namaku Lia. Bukankah kita sudah berkenalan sebelumnya? Mereka pasangan muda dan usia kami hampir dua kali lipat usia mereka.
Saya merasa sulit untuk bertanya-tanya dalam hati, “kok bisa ya?” karena saya bahkan tidak tahu nama kami (?), karena saya hanya mengenal tiga orang penjaga keamanan (Taufik, Iwan, dan Aep) dan hampir semua tetangga (kecuali yang tidak tinggal).
Tetangga oh! Tetangga